Mengukur Kepantasan dalam Pernikahan





"Usia terus nambah aja mbak. Teman-temanku sudah pada nikah dan punya anak. Aku pengen segera nikah mbak...." "Aku dah puasa, rajin shalat, puasa sunnah dan lain-lain,, kenapa jodoh tak kunjung datang?"

"Semua buku soal pernikahan, (parenting) dan tetek bengek soal rumah tangga sudah aku baca, Aku dah siap menikah... Apalagi yang kurang?" "Semua nasehat ‘tuk memperbaiki diri sudah aku jalankan, tapi jodoh rasanya jauh saja. Bagaimana ini mbak?"

Apa jawaban kita kala pertanyaan-pertanyaan seperti itu terlontar di hadapan kita? Orang yang sudah ingin sekali menikah sering mempertanyakan hasil usahanya kepada orang tertentu dengan nada “memprotes”. Padahal yang ditanya tak lebih tahu daripada yang bertanya.

Sementara itu keinginan menikah bisa datang di usia berapa saja. Seorang perempuan pun bisa merasakan 'desakan' untuk segera menggenapkan diennya. Disinilah kadang manusia terjebak dalam kesalahan  mengukur kepantasan kapan dan dengan siapa menikah. Merasa sudah berilmu, solehah, banyak ibadah, cukup usia dan sebagainya membuat manusia jumawa, mengambil porsi Tuhan. Apalagi jika sudah mulai mempertanyakan hasil ikhtiar dengan 'memantaskan diri'. Disinilah keimanan kita sebenarnya diuji.

Memang banyak yang bilang kita harus memantaskan diri dulu sebelum menikah karena jodoh adalah cerminan diri.  Tapi sebaik-baik rencana manusia, tetap rencana Allah Swt yang terbaik.

Lalu apa yang dimaksud kepantasan dalam hal jodoh?

Kepantasan ukurannya bukan pada kesamaan derajat pendidikan, pengalaman organisasi, kerupawanan wajah, pengetahuan agama atau bahkan keseringan beribadah. Dalam hal rejeki dan jodoh, lebih baik kita hilangkan saja perasaan dan ukuran kepantasan.

Segala ikhtiar semestinya bukanlah dalam rangka meraih kepantasan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Bisa-bisa seseorang akan terjatuh dalam kesombongan. Seakan berhak mengatur ketetapan Allah Swt. Padahal Allah  pemilik segala misteri.

Kalau bicara pantas, sungguh kita harus malu mendapati orang-orang shaleh yang begitu sabar dengan ikhtiarnya selama bertahun-tahun untuk mendapatkan keturunan. Jangan tanya berapa banyak kebajikan yang mereka torehkan selama ini. Lalu kita tengok (maaf) orang-orang yang sering berzina justru sepertinya mudah sekali membuang janin hasil hubungan gelap mereka. Bahkan ada yang melakukannya berkali-kali tanpa perlu takut kepada yang bikin hidup.

Kalau sudah begini siapa berani lancang memprotes ketetapanNya?  Tidak ada satu pun manusia yang tahu kebaikan dan keburukan yang akan terjadi pada kehidupan. Tapi Allah Maha Tahu.

Kembali kepada soal jodoh. Berapa  banyak pun  ibadah yang dilakukan, jangan pernah merasa pantas untuk memperoleh pasangan dengan ciri-ciri yang kita tentukan sendiri. Perasaan semacam ini hanya akan melahirkan egoisme baru dalam pernikahan, yakni menuntut pasangan agar bisa ini-itu karena merasa diri sudah baik.

Tapi ketika sudah pasrah, dan Allah Swt mempertemukan dengan sang belahan jiwa, kita akan senantiasa bersyukur atas dirinya. Dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang kita miliki, dialah jodoh kita. Adakah yang lebih indah dari Keputusan dzat Yang Maha Penyayang?

Seorang muslimah harus banyak belajar dari para perempuan hebat zaman Rasulullah Saw. Adalah bunda Khadijah yang menjaga izzahnya dengan mengutarakan keinginannya menikah dengan Rasulullah lewat perantara. Tertulis pula kisah Fatimah Az-Zahra yang menjaga kecenderungan hatinya pada Ali bin Abi Thalib hingga setan pun tak tahu, sampai pada akhirnya Allah menakdirkan pernikahan mereka.

Ada pula kisah Hafshah binti Umar yang menitipkan ikhtiarnya mendapatkan suami lewat sang Ayah dengan penuh kesabaran. Sang Ayah bahkan mengabarkan penolakan Abu Bakar dan Utsman atas lamaran yang diajukan. Namun siapa menyangka kalau akhirnya ketetapan Allah atasnya adalah menikah dengan pria terbaik sepanjang masa! Shallallahu alaihi wasallam.

Keinginan menikah itu fitrah manusia. Mendapatkan pasangan yang baik, hidup tentram dan memiliki anak juga  keinginan lumrah setiap manusia. Tapi menikah itu bukan urusan cepat atau lambat, apalagi untuk dibanding-bandingkan dengan yang lain. Kebahagiaannya itu kita sendiri yang merajut dan menikmatinya.

Menjaga amaliah dan ibadah dengan baik sungguh bukan untuk mendapatkan  yang terbaik menurut kita, namun  agar kita ridla dan  menjadi yang terbaik dengan siapapun yang Allah takdirkan.

Author : Lusiana Nurhermawati

0 Response to "Mengukur Kepantasan dalam Pernikahan"

Posting Komentar