Berasal dari lingkungan pendidikan, atau bahkan dari orangtua yang
sama tak berarti membuat anak
berperangai seragam.
Sangatlah biasa jika ada kakak beradik tumbuh menjadi orang yang berbeda,
padahal mereka dilahirkan dari rahim yang sama. Memang, menjadi saudara sekandung bukan jaminan apalagi keharusan untuk berwatak sama.
Tersebutlah ada kakak beradik yang tumbuh menjadi
pribadi yang berbeda jauh sekali satu sama lain. Sang Kakak suka bermabuk-mabukan, kasar
terhadap istrinya, suka menghambur-hamburkan uang dan sangat pemalas. Sedangkan
sang Adik tumbuh menjadi pribadi yang santun, suka bekerja keras dan berlemah
lembut terhadap istri dan anaknya. Seseorang
bertanya kepada keduanya, mengapa gerangan mereka tumbuh berbeda seperti itu. Ternyata
jawaban keduanya sangatlah mengherankan,
karena sama persis; “Ini semua karena ayah saya.”.
Memiliki kesamaan alasan namun dengan perbedaan sudut pandang. Itulah yang terjadi, saat keduanya kemudian melanjutkan jawaban mereka
masing-masing. “Ini semua karena ayah saya. Dia adalah orang yang suka
mabuk-mabukkan, kasar terhadap ibu saya, lebih banyak bermalas-malasan di rumah
dan suka menghambur-hamburkan uang. Saya melihat hal itu sejak saya kecil dan
wajar jika saya menjadi seperti ini sekarang. Bukankah buah jatuh tak jauh dari
pohonnya.”
Jawaban sang Kakak sungguh membuat kami
tertegun. Sungguh perilaku orang tua
itu teramat sangat kuat tertancap
di benak dan pikiran anak-anaknya. Bahkan menjadi awal pembenaran bahwa dirinya
adalah ‘korban’ atas perbuatan orang tuanya.
Jawaban berbeda dari sang Adik membuat
kami jauh tertunduk lebih dalam melihat realita kehidupan. “Ini semua karena ayah
saya. Beliau adalah orang yang suka mabuk-mabukkan, kasar terhadap ibu saya,
lebih banyak bermalas-malasan di rumah dan suka menghambur-hamburkan uang. Saya
melihat hal itu sejak saya kecil dan sungguh saya merasa sakit melihat itu
semua. Saya tak ingin saat saya besar saya menjadi seperti itu. Saya tak
sanggup melihat air mata ibu saya yang menahan segala derita keluarga. Jujur sebagai anak saya pun
rasanya malu memiliki ayah seperti itu. Maka sejak saat itu saya berjanji bahwa
saya tidak akan seperti ayah saya. Saya ingin menjadi suami yang baik untuk istri
saya kelak dan menjadi ayah yang baik untuk anak-anak saya. Saya ingin menjadi diri
yang bisa membanggakan keluarga.”
Kita memang tak bisa dan takkan pernah
bisa memilih terlahir dari keluarga seperti apa, tapi kita masih bisa memilih
jalan hidup seperti apa yang akan kita tempuh nantinya. Terus menerus
memelihara kebencian, keburukan dan kesalahan orang-orang terdahulu dalam
keluarga bukanlah hal yang baik untuk diwariskan kepada anak-anak. Tak semua luka harus dibalas dengan luka.
Meskipun pernah terluka karena
seseorang, bukan berarti harus dibalas
dengan luka pula.
Duka masa lalu
memang tak bisa diubah, namun jangan pernah korbankan masa depan yang cerah demi
kesalahan dan luka masa lalu.
Author : Lusiana
Hermawati
0 Response to "Tak Semua Luka Dibayar dengan Luka"
Posting Komentar