Muslim itu (Memang) Harus Kaya





Hanya karena terlewat satu rakaat saholat berjamaah maka ia menyedekahkan kebun kurmanya yang siap panen kepada fakir miskin, itulah harga yang harus Umar bin Khathab bayar atas kelalaiannya melaksanakan sholat ashar berjamaah yang terlewat satu rakaat. 

Tak bisa terbayangkan jika seandainya kita sedang jalan-jalan di mall lalu terlewat sholat berjamaah, apakah serta merta lantas menggerakkan hati untuk menyedekahkan seluruh isi mall kepada fakir miskin? Mungkin sebagian kita akan menjawab bahwa mall itu bukan milik kita sehingga tak bisa serta merta disedekahkan layaknya Umar bin Khathab dulu, lalu berapa harga penyesalan yang kita punya karena mudah saja bagi Umar menyerahkan kebun kurma yang akan dipanennya kepada orang miskin?

Berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa       
“(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Ash-shaff 61 : 11).

Entah kenapa Allah menyebut harta terlebih dahulu dalam berjihad sebelum jiwa. Dalam rukun Islam yang terakhir terdapat perintah haji, puncak dari ibadah di bulan Ramdhan adalah zakat fitrah, lantas ada pula zakat maal atas nasab harta yang kita miliki, pada hari ke 10 bulan Dzuljihah terdapat pula ibadah menyembelih hewan kurban, belum lagi keutamaan menyantuni anak yatim, bukankah ini juga mendorong kita untuk bekerja keras karena meyantuni hajat hidup orang lain tentunya menuntut banyak hal untuk dipenuhi. Begitu banyak ibadah yang bisa kita lakukan saat kita memiliki kelebihan harta, tentunya bertambahnya harta yang kita miliki pun dibarengi dengan bertambahnya pemahaman kita yang baik terhadap potensi kebaikan dalam hal ibadah kepada Allah.

Karenanya Allah sering kali megingatkan kita akan satu titik penting dalam kita bertindak, lihat saja dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang ditutup dengan kalimat “jika kamu mengetahui” atau “bagi golongan orang-orang yang berpikir”. Begitu mendasar pengaruh pemahaman yang baik ini dalam pondasi iman kita.

Menikmati Pahala Sepanjang Masa
Pemahaman yang baik selalu mengantarkan kita akan manisnya iman. Harta yang diserta dengan pemahaman yang baik inilah yang membuat banyak sahabat Rasulullah berhasil menorehkan banyak kebaikan kepada umat. Lihat saja kehebatan Abdurrahman bin Auf, sang Dermawan kaya raya, yang tak pernah henti menyedekahkan hartanya untuk fakir miskin. Kemudian kisah Utsma bin Affan yang berhasil mewakafkan sumur untuk warga muslim Mekkah yang sempat kesulitan air sedangkan satu-satunya sumber mata air dimiliki seorang Yahudi.

Tak terbayang berapa pahala banyak pahala yang didapatkan dari amal jariyah mereka itu. Lagi-lagi begitu besar potensi kebaikan yang dimiliki jika harta ini disertai dengan pemahaman iman yang baik, nikmat pahala yang dijamin Allah tak hanya akan kita dapat di dunia namun juga di akherat. Semakin besar potensi kebaikan yang dimiliki maka semakin besar pula godaan yang datang menghadang. Harta dunia bisa begitu melenakan, kilaunya bisa membuat mata buta akan kewajiban kepada Rabb semesta alam. Maka pantaslah sosok sekelas Umar bin Khathab  pun berdoa “Ya Allah, jadikanlah harta ini sampai di tanganku saja, tidak sampai masuk dalam hatiku.”.
 
Pasangan Sabar dan Syukur
Jikalau harta begitu memainkan peran penting dalam hal ibadah kepada Allah, maka ibadah apa yang tersisa bagi orang-orang yang hanya tidak begitu memiliki kelebihan harta? Berdzikirlah menyebut nama Allah dengan tasbih tahlil dan takbir.

Hakikatnya semua proses dalam hidup ini selalu berputar dengan rumus sabar dan syukur. Bersabarlah dalam menggunakan harta secara baik dan bersyukurlah dengan apapun yang kita kita miliki karena sebenarnya potensi kebaikan ada dalam setiap sendi. Jadi, menjadi muslim kaya...siapa takut?

Author : Lusiana Nur Hermawati

0 Response to "Muslim itu (Memang) Harus Kaya"

Posting Komentar