Kita semua
tahu, jujur adalah sifat yang mulia (akhlakul karimah). Jujur, kata yang mudah
diucapkan namun sangat sulit untuk dilaksanakan. Karena hakekat kejujuran
adalah jujur sejak dari dalam hati. Rasululloh SAW menyeru kepada umatnya untuk
senantiasa berlaku jujur, baik dalam tindakan maupun ucapan. Dalam salah satu
haditsnya beliau mengatakan “Katakanlah
yang sejujurnya walaupun itu pahit bagimu”
Berlaku jujur
dapat dibagi menjadi dua yaitu jujur kepada diri sendiri dan jujur kepada orang
lain. Memang berlaku jujur kadang seperti menelan obat yang terasa pahit dan
tidak mengenakkan, bahkan kadang bisa beresiko, meski sebenarnya memiliki
dampak yang sangat baik bagi kesehatan, khususnya kesehatan rohani kita. Sebaliknya,
ketidakjujuran (kebohongan) ibarat sebuah virus atau bibit penyakit. Sekali ia
menyerang diri kita, artinya satu kali kita melakukan kebohongan, maka kita
akan cenderung terus berbohong demi mempertahankan kebohongan yang pertama.
Memiliki anak
atau siswa yang jujur tentu menjadi dambaan setiap orang tua
dan guru. Namun kenyataannya banyak orang tua dan guru yang justru tidak
menanamkan nilai kejujuran ini pada diri anak atau siswanya. Benarkah?
Mari kita
simak beberapa fenomena yang terkait masalah kejujuran ini, khususnya di dunia
pendidikan. Sejak awal memasuki satuan/lembaga pendidikan, beberapa orang tua
sering memaksakan kehendak agar anaknya dapat diterima di sekolah tertentu
meskipun sebenarnya kurang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Tak
segan-segan mereka melakukan berbagai upaya yang sebenarnya sudah menodai
nilai-nilai kejujuran (misal dengan memberikan imbalan tertentu atau melobi
orang tertentu). Dan anehnya ada beberapa satuan/lembaga pendidikan yang justru
menyediakan kuota khusus untuk orang-orang seperti ini.
Selanjutnya setelah
anak-anak mereka memasuki satuan/lembaga pendidikan, mereka tentu menginginkan anak-anaknya
berprestasi (memperoleh nilai bagus). Sayangnya masih banyak orang tua yang
senang bila anaknya mendapatkan
pelajaran tambahan (les) di
tempat guru yang mengajarnya dengan harapan agar anaknya memperoleh kemudahan
dan nilai bagus pada mata pelajaran tertentu. Mereka bangga bila anaknya
memperoleh nilai bagus, tanpa mencermati proses perolehan nilai tersebut. Padahal
sudah ada himbauan dari Direktorat agar guru tidak menerima siswa les dari
sekolah sendiri, karena sedikit atau banyak hal tersebut akan mempengaruhi
objektivitas penilaian, atau bahkan sering terjadi kebocoran pada soal-soal
ulangan harian. Mereka tidak menyadari kalau sebenarnya mereka sedang
memberikan contoh nyata ketidakjujuran
kepada anak-anak yang mereka sayangi.
Kemudian di
tingkat satuan pendidikan (sekolah). Demi meraih prosentase kelulusan 100% beberapa
kepala sekolah dan guru sepakat untuk “menyiasati” agar nilai ujian nasionalnya
bagus. Tak tanggung-tanggung mereka menciptakan suatu “sistem” tertentu yang
memungkinkan anak didiknya saling bekerja sama, bantu membantu, tolong menolong
pada saat ujian nasional berlangsung. Tak sadarkah kalau sebenarnya mereka
telah membekali anak didiknya untuk berbohong, menipu, berdusta atau bahkan
mencuri?
Terkait masalah
kejujuran ini dan melihat fenomena yang terjadi di lapangan, sebenarnya kita
semua prihatin. Pemerintah dalam hal ini Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) senantiasa mencantumkan visi penyelanggaraan Ujian Nasional (UN)
yaitu “Terselenggaranya Ujian Nasioanal
yang Jujur dan Kredibel”. Namun kenyataannya tindak kebohongan masih
saja mewarnai penyelenggaraan berbagai ujian di beberapa satuan/lembaga
pendidikan sejak jenjang SD hingga program pascasarjana.
Idealnya,
semua orang tua dan orang yang berkiprah dalam dunia pendidikan selalu berusaha
dengan segala daya dan upaya mewujudkan nilai-nilai luhur (kejujuran) tersebut.
Bila di jajaran pendidikan saja sudah sulit menemukan kejujuran, lantas ke mana
lagi kita harus berharap? Sungguh suatu hal yang sangat memprihatinkan.
Untuk menyiapkan generasi yang jujur ternyata tidaklah mudah. Hal ini disadari sepenuhnya oleh, Kementerian Pendidikan Nasional, maka mulai tahun 2009 secara serius
Kemendiknas memberikan porsi yang lebih besar untuk peningkatan mutu
pendidikan, yang meliputi mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan termasuk di
dalamnya pendidikan karakter. Penekanan pendidikan
karakter yang di dalamnya a.l. ada penanaman nilai-nilai kejujuran dan tujuh
belas (17) nilai lain yang harus dikembangkan oleh satuan pendidikan,
difokuskan pada bagaimana mengimplementasikan pendidikan karakter secara
terpadu dalam kegiatan pembelajaran, manajemen, dan kegiatan pembinaan
kesiswaan.
Dalam Grand Design Pendidikan Karakter
disebutkan bahwa sekolah secara sendiri tentu tidak mampu mewujudkan
pembentukan karakter luhur tersebut. Harus ada keterpaduan antara
program-program pendidikan karakter di sekolah dengan implementasi dan
keteladanan di dalam keluarga dan masyarakat. Tanpa itu semua mustahil akhlakul karimah (termasuk kejujuran)
bisa terwujud.
Penanaman nilai-nilai kejujuran hendaknya dimulai sejak dini,
berkesinambungan dan terimplementasi pada contoh perilaku setiap hari, sejak
dalam lingkup keluarga, sekolah dan masyarakat. Pertanyaannya justru kepada
diri kita, para orang dewasa, sudahkah kita siap memberikan teladan berlaku
jujur kepada diri sendiri maupun orang lain khususnya anak-anak kita dengan
segala konsekuensinya?
Bila kita sendiri belum mampu berlaku jujur,
maka jangan terlalu berharap kepada anak-anak kita, para siswa kita untuk
menjadi generasi yang jujur. Maka kunci utama penanaman nilai-nilai kejujuran
kepada anak-anak kita adalah keteladanan
perilaku jujur pada orang dewasa yang terimplementasikan dalam ucapan dan
tindakan sehari-hari, secara terus menerus dan berkesinambungan dalam situasi
dan kondisi apa pun. Suatu pertanyaan
panjang, kapankah keteladanan perilaku jujur yang konsisten ini akan kita mulai
? Jawabnya ada pada nurani kita masing –masing.
0 Response to "Fenomena Kejujuran di Dunia Pendidikan"
Posting Komentar