Sejenak Merenung di Bukit Marwah



Alhamdulillah, tahun ini saya kembali mendapat berkah menunaikan ibadah haji. Rata-rata orang Isalam sudah tahu apa itu ibadah haji; hukumnya, syarat-syarat maupun rukunnya. Dalam tulisan singkat ini saya ingin memaparkan pengalaman pribadi pada saat menjalankan ritus sa’I yaitu berjalan dan berlari kecil antara Bukit Syafa dan Bukit Marwah pulang balik sebanyak tujuh kali. Ini semacam pengalaman ruhani yang sangat berkesan dalam keberagamaan saya.

Dalam sebuah rangkaian ibadah umrah sunah, pada saat menjalankan sa’I, saya dn istri berpapasan dengan seorang teman sekampung yang sedang menunaikan ritus yang sama. Bedanya, saya dan istri sudah menempuh enam kali bolak-balik, tapi teman kami itu baru lima kali. Maka kami berjanji menunggu teman itu setelah kami selesai. Begitulah kami selesai, bertahalul, lalu mencari secuil ruang yang masih terbuka bagi kami untuk menunggu.

Penantian itu hanya berlangsung dalam hitungan menit. Tapi pada penggal waktu yang sedikit itu saya memasuki pengalaman yang amat mengesankan. Ini semua berawal, barangkali, karena saya punya pekerjaan sebagai novelis yang terbiasa dengan alam angan-angan. Mungkin begitu. Maka tiba-tiba saya sadar ritus sa’i yang baru selesai kami laksanakan adalah amalan yang dulu dilakukan oleh Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim ribuan tahun yang lalu.

Tidak seperti para haji sekarang, ribuan tahun yang lalu Siti Hajar berlari antara Bukit Syafa dan Marwah di bawah terik matahari, di atas amparan batu dan kerikil panas. Bahkan tanpa persediaan air! Suatu kondisi ektrem yang amat membayakan hidup siapa pun.

Angan-angan saya melayang. Terbayang Siti Hajar membopong bayi, Ismail, dan Nabi Ibrahim berjalan menempuh padang pasir dari Palestina ke selatan. Terus ke selatan hingga sampai suatu tempat kerontang yang sekarang di kenal sebagai lokasi pelaksanaan sa’i. Tempat itu kerontang dan terik. Tak ada pepohonan, bahkan tak ada manusia selain mereka bertiga. Tak ada kehidupan kecuali beberapa jenis perdu yang bisa hidup dengan menyerap uap air dari udara. Atau unggas jenis elang yang bisa memangsa jenis burung layang-layang.

Dalam kegersangan dan kesunyian itulah Nabi Ibrahim hendak menempatkan dan kemudian meninggalkan Siti Hajar bersama bayi Ismail. Dan saya seakan mendengar percakapan antara Siti Hajar dan Nabi Ibrahim.

“Istriku, aku akan meninggalkan kamu dan bayimu di tempat ini.”
“Di tempat ini? Tanpa makanan dan dan air, dan tanpa tempat bernaung dan perlindungan? Engkau tega, suamiku?”
“Ya, karena begitulah sabda Allah kepadaku.”
Mata Siti Hajar terbuka lebar. Tapi kemudian meredup. Ada kedalaman jiwa tampak pada matanya.
“Bila begitu sabda Allah, dan engkaupun menyuruh kami tinggal, maka sami’na wa atha’na, saya patuh.”

Begitulah, sesudah membagi sisa air dan makanan menjadi dua, Nabi Ibrahim berangkat lagi ke utara, ke Palestina. Siti Hajar dan bayi Ibrahim ditinggal di tengah kesunyian dan dan keganasan padang pasir. Hanya dengan ketawakalan kepada Allah, hanya kepada Allah, Siti Hajar dan anaknya bertahan dan tinggal.

Sampai saatnya bayi kecil Ismail merasa haus lalu menangis. Siti Hajar menyusuinya tapi tak ada air susu keluar. Bahkan Siti Hajar sendiri sudah terjerat rasa haus yang amat sangat. 

Maka Siti Hajar bangkit. Menoleh kiri-kanan, bangkit, lalu tegak di tempat  yang agak tinggi, di Syafa. Agak di depan sana Siti Hajar melihat genangan air. Itu dia. Hajar lari memburu. Tapi genangan air itu lenyap dan mencul lagi lebih di depan sana dekat bukit kecil Marwah.

Siti Hajar lari lagi tapi genangan itu lenyap lagi. Syaitan bermain fatamorgana. Sampai tujuh kali Siti Hajar pulang balik. Letih dan hatinya hancur karena dia mendengar bayinya menangis makin keras. Ibu muda itu tidak tega. Maka dia berlari menjelang bayi Ismail yang sedang meronta dan meronta. Lalu…, apa itu? Air merembes di kaki Ismail. “Ya Allah…  Zam… zam… kumpullah air. Bayiku sudah kehausan. Dan luluslah Siti Hajar dari ujian berat ketawakalan yang harus ditempuh Siti Hajar. Hanya kepada Allah dia merasa bergantung. Alam yang gersang dan kejam, kesendirian yang mencekam, perbekalan yang sudah tiada, dikalahkannya dengan ketawakalan…

Tahalul, tahalul… Tiba-taba teman yang kami tunggu muncul. Anganku kembali hadir di alam nyata. Dan saya kira waktu saya tertegun lama.  Terfikir betapa saya tidak setawakal Siti Hajar. Mungkin saya akan mengeluh hanya karena udara panas ketika AC mati, dsb, dst… Astaghfirullah al adzim..

Author : Ahmad Tohari
  

0 Response to "Sejenak Merenung di Bukit Marwah"

Posting Komentar