Lanjutan Artikel : Cinta Orang Tua kepada Anak
Apa yang terjadi kemudian? Meski Cory tumbuh
menjadi anak yang pandai, namun sekadar untuk berbicara dan berperilaku santun teramat sangat sulit baginya. Apalagi setiap
hari dia menyantap hiburan televisi yang
menayangkan kehidupan metropolitan (a la barat). Kepekaan sosialnya teramat
miskin. Cory hanya “sanggup”
berinteraksi dengan yang se-aspirasi secara sosial.
Akhirnya Cory mengalami “perpanjangan” masa
anak-anak, yaitu masa dimana manusia belum layak diberi beban dan tanggung
jawab. Saat usianya beranjak dewasa, Cory belum menunjukkan tanda-tanda mampu
hidup bermasyarakat. Pada titik seperti ini anak mulai mencari pasangan, karena
secara seksual dia mulai memasuki masa kematangan. Saat butuh penyaluran hasrat
biologis, maka dia tidak terbiasa dengan aturan masyarakat sehingga terjadilah
“bencana”. Dan tiba-tiba semua terrasa serba terlambat. Tanpa disadari Cory
telah melukai dirinya, keluarganya dan masyarakat dengan aib. Janin yang
terlanjur tersemai di rahimnya dikemudian hari begitu lahir harus sudah
menanggung aib orang tuanya.
Model pendidikan rumah yang semakin bebas dan
misleading seperti kehidupan pada keluarga Ibu Frita, anehnya tidak
merisaukan banyak orang. Kejanggalan cara bertutur, bersikap dan berperilaku anak
gampang ditoleransi. Orangtua sebagai
bagian dari generasi sukses di perkotaan lebih fokus untuk meniti karir,
dibanding membimbing anaknya meniti masa dewasa secara ilmiah dan alamiah.
Orang tua juga mulai banyak menghindari
“berbenturan” dengan anaknya, karena khawatir mengusik ketenangan dan
kenyamanannya. Orang tua yang semakin sedikit saat ketemunya dengan anak tak
ingin kecewa melihat anaknya marah atau “ngambek” karena ditegur. Kalau terjadi
hukuman edukatif kepada anak di sekolah bahkan orang tua semacam ini tidak
segan-segan akan “melabrak” sang guru
Pola edukasi “perintah dan larangan” yang
diintroduksi oleh Islam semakin ditinggalkan karena dianggap sudah “ketinggalan”.
Penanaman prinsip-prinsip kehidupan secara langsung, sebagaimana Luqman Al-Hakim menyemai ke dada
anknya tak berjalan, karena semuanya sudah “dititipkan” kepada guru di sekolah.
Baik dan buruknya anak semuanya menjadi beban sekolah. Orang tua lupa bahwa selain
mendidik di rumah, mereka juga turut bertanggung jawab “merawat”dan mengawal
penanaman nila kebajikan di sekolah, bukan melepaskannya. Jika orang tua tidak
memahami ilmu mendidik, maka orang tua seharusnya ikut belajar untuk memberi
penguatan di rumah dan bukan sebaliknya.
Masyarakat Jepang dan banyak negara maju lainnya selalu mengajari anak bagaimana
bersikap dan berperilaku sosial yang sehat. Oleh karena itu budaya mengantri, mengutamakan
orang tua dan wanita hamil di
tempat-tempat umum merupakan hal yang lumrah sampai saat ini! Namun, kecakapan
sosial semacam ini justru semakin tercabut dari akar budaya bangsa kita. Misalnya,
merusak fasilitas umum dan tidak bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri
malah menjadi fenomena yang sangat lumrah. Apakah bersikap apatis dan bahkan
anti-sosial tidak perlu kita cemaskan? Apakah
orang tua bisa membebaskan diri dari “keterbelakangan” ini dan bagaimana dengan
nasib generasi muda Islam di masa yang
akan datang? Mari kita merenung dan bertindak untuk kepentingan anak kita.
Dunia dan akhirat mereka adalah dunia dan akhirat kita. Wallahu a’lam.
Author : Abdul
Kadir Baraja & Yasir Abdul
Rahman
0 Response to "Egoisme Orang Tua Bertameng Cinta"
Posting Komentar