Bersikap Tegas kepada Anak, Perlukah?





“Bu, belikan mainan itu...!”, Andika merengek kepada ibunya. “Mainan yang mana sih, Nak?”, tanya Bu Dina. “Itu lho, Bu..topeng Power Ranger itu...!” “Andika kan sudah punya di rumah, kenapa mau membeli lagi?”, kata Bu Dina. “Gak mau, pokoknya belikan, Dika mau topeng yang itu!”, Andika menangis sambil menunjuk ke arah seorang penjual mainan. Karena tidak ingin anaknya terus menangis di tempat umum, Bu Dina akhirnya menuruti keinginan Andika. Seketika wajahnya pun berubah menjadi ceria.

Kejadian seperti di atas sering dijumpai, dan banyak diantara orang tua yang  melakukan hal yang sama saat  mengalaminya. Namun, sudah tepatkah tindakan Bu Dina?

Sebagai orang tua, tak ada salahnya jika suatu saat mengalah dan menuruti keinginan anak. Namun ada kalanya  harus bersikap tegas kepada anak.

Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan sikap  disiplin. Tanpa kedisiplinan anak tidak akan berkembang utuh kejiwaannya, karena anak cenderung akan hidup berdasarkan suasana hati  belaka, sehingga tidak memiliki energi untuk memotivasi diri guna mencapai target.

Sikap disiplin diperlukan untuk menjaga konsistensi peraturan yang ada. Jadi, misalnya, saat anak diajak berbelanja ke sebuah minimarket, maka anak hanya boleh membeli sejumlah item makanan atau minuman yang sudah disepakati sebelumnya. Bila anak menuntut lebih banyak, maka Ibu harus   tegas   menolak.

Bila sang Ibu gagal dalam menegakkan kedisiplinan, maka secara tidak langsung dia telah mengajarkan anak untuk tidak konsisten terhadap kesepakatan. Jika perjanjian yang sama sampai terjadi berulang-ulang, maka anak akan menganggap bahwa kata “tidak” atau “jangan” itu tiada artinya. Toh, dengan sedikit merengek dan menangis permintaan akan dikabulkan.

Menurut Psikologi Barat,  orang tua tidak disarankan untuk mengatakan “jangan/tidak” kepada anak. Terlalu sering mengatakan “jangan/tidak” akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan kepribadian anak. Anak bisa menjadi kurang percaya diri,  kurang kreatif, kurang berani mengambil keputusan dan masih banyak lagi yang lainnya.

Salah satu cara untuk mencegah kata “jangan/tidak” itu muncul adalah dengan mengubah kalimat negatif menjadi kalimat positif. Namun tidak semua hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan harus diubah menjadi kalimat positif. Bila harus menggunakan kata “jangan/tidak” kepada anak, maka hal itu karena memang anak benar-benar dilarang melakukannya, Misalnya dalam hal keharaman suatu makanan atau alat permainan. Jadi   kata “jangan/tidak” boleh digunakan, asal dalam konteks yang tepat.  

Lalu apa artinya bersikap tegas kepada anak? Bersikap tegas adalah tidak menuruti kehendak atau permintaan anak begitu saja. Anak selalu meminta dan tugas orang tua adalah menentukan kapan menuruti dan tidak mengikuti keinginannya. Tapi harus diingat, bahwa bersikap tegas tidak identik dengan membentak, melakukan kekerasan fisik, aturan   kaku atau yang serba tidak kompromistis.

Jadi bagaimanakah bersikap tegas kepada anak yang tepat? Pada dasarnya, untuk dapat bersikap tegas orang tua harus mengenal anak dengan baik. Sebab bersikap tegas hakekatnya adalah untuk kebaikan anak juga. Harus ada  alasan yang kuat mengapa orang tua tidak menuruti keinginannya. Misalnya jika dituruti keinginannya, akan berakibat buruk pada anak, merugikan atau melukai orang lain, menyebabkan dosa atau akan membuat dirinya dipandang negatif.

Bila alasan bersikap tegas tidak cukup kuat, maka keinginan anak sebaiknya dipertimbangkan untuk dikabulkan (paling tidak sebagian, atau diganti dengan yang dipandang lebih baik).  Di sini anak juga bisa belajar menghormati dan menghargai orang tua yang menuruti keinginannya secara bijak. Jadi   orang tua bisa dimungkinkan untuk mengalah kepada anak.

Hal yang harus diingat, bahwa dengan selalu mengalah dan menuruti setiap kemauan anak hanya akan berakibat kurang baik bagi perkembangan karakternya. Orang tua yang memahami pendidikan tentu  tidak ingin menjadikan buah hatinya sebagai anak yang manja.

Bagaimanapun, anak akan melewati berbagai proses dalam tahap perkembangannya kelak, dan kita tidak akan selalu berada di sisinya. Ketegasan  orang tua sangat diperlukan agar anak memiliki tujuan yang jelas dalam hidup dan mampu mempersiapkan diri untuk meraih cita-citanya. Membuat mereka bergantung dengan sifat manjanya hanya akan membuat mereka tidak mandiri dan sulit untuk berinisiatif dan berkreasi. Bahkan mereka sulit untuk bisa membayangkan masa depannya seperti apa.

Sebagaimana dijelaskan di atas, bersikap tegas tidak sama dengan bersikap keras atau kasar. Mereka harus memahami konsekuensi hubungan sebab-akibat,   bukan semata-mata hukuman. Ketika anak berbuat kesalahan, perlu dicermati apakah sudah ada komitmen sebelumnya.

Sebagai missal, bila anak sudah diberi tahu agar tidak meminta jajan melebihi dua macam, lalu dia mengambil semua makanan dan minuman yang disukainya, maka konsekuensi (bukan hukuman) yang sudah disepakati sebelumnya harus dijalankan.. Misalnya, sore ini tidak diijinkan menonton film kartun kesayangannya. Namun ketegasan harus direalisasi dengan cara yang lembut , santun, dan penuh kasih sayang. Bukankah Islam adalah agama kasih sayang? Pendidikan yang demikian pada akhirnya membuat anak bisa belajar menginternalisasi  makna komitmen dan kejujuran.

Jadi  ayah dan ibu tidak perlu  takut bersikap tegas dan jangan takut pula bersikap penuh kasih sayang. Tegas dan kasih sayang itu berada dalam satu kotak yang sama sehingga tidak perlu dipertentangkan.

Insya Allah model pendidikan yang demikian akan jauh lebih bermanfaat dibanding bila orang tua bersikap memanjakan atau malah keras. Saat orang tua sudah berupaya maksimal semacam ini, diharapkan mereka menjadi anak yang saleh dan akan mangenang orang tuanya dengan doa, “Ayah, Ibu,  terima kasih atas semua cinta yang kalian berikan. Dalam sujudku kepada Allah,   aku mintakan tempat terbaik untuk kalian wahai Ayah-Ibu.” Doa penuh cinta dari anak yang saleh, insya Allah akan menyelamatkan kita kelak di akhirat. Amin.  

Author : Suci Ariningtyas,S.Psi



0 Response to "Bersikap Tegas kepada Anak, Perlukah?"

Posting Komentar