Mencintai si buah hati merupakan fitrah bagi
orang tua sejak dari jaman azali. Setiap orang tua, terutama ibu, akan
mencurahkan jiwa raganya untuk membuat anaknya sehat dan sukses hidupnya.
Mereka sangat bahagia saat anaknya senang, dan sedih jika anaknya terlihat
murung. Semua hidupnya dipertaruhkan untuk kebahagiaan anaknya, bahkan saat
anaknya sudah bersanding dengan teman hidupnya.
Orang tua bahkan tidak pernah ingin
kebahagiaan hilang dari diri anaknya, karena kehilangan kebahagiaan anak
berarti kehilangan kebahagiaan mereka juga. Sebenarnya tidak ada yang salah hingga titik
ini. Namun apakah kebahagiaan yang diperjuangkannya
benar-benar kebahagiaan untuk anak atau ambisi orang tua semata? Mari kita bedah
bersama sepotong fragmen kehidupan di sekeliling kita yang mengindikasikan
adanya paradoks (baca: ketidaksesuaian) cinta orang tua.
Ibu Frita mempuanyai ambisi yang sangat besar
untuk anak perempuannya, Cory. Dia ingin agar anaknya bisa kuliah di fakultas
kedokteran. Di matanya fakultas selain kedokteran berbeda “maqam”, sehingga
tidak afdal dan dirinya akan dianggap kurang sukses mendidik bila anaknya tidak
diterima di fakultas favorit tersebut. Kedokteran juga dipersepsinya menjamin
kesejahteraan anaknya secara materi.
Bimbingan Belajar terbaik di kotanya pun dipilih
untuk mengantar Cory meraih tujuan. “Belajar mandiri” telah hilang dari kamus
Ibu Frita. Cory tidak perlu harus merasa kesulitan saat dihadapkan pada
pekerjaan rumah, karena telah ada problem solver di sampingnya hampir
setiap hari. Cory tidak berkesempatan untuk belajar bagaimana menjadi seorang pembelajar.
Dia terbiasa langsung mengkonsumsi “ikan”, dan tidak pernah bersusah-payah ”mengail”
untuk mendapatkan ikan. Nyaris serba instan, seperti yang dimakannya.
Bakat seni anaknya juga tidak dilewatkannya
untuk diasah lewat serangkaian les menyanyi dan musik yang diidamkannya, agar Cory
bisa tampil di depan publik memupuk kepercayaan diri, sekaligus mengangkat
“harga diri” orang tuanya. Saat anaknya mengeluh capek, maka semua jurus
motivasi dikeluarkannya agar anaknya bertahan. Tidak lupa janji berlibur ke
tempat wisata terbaik akan ditawarkan untuk menguatkannya. Alhasil, Ibu Frita terobsesi agar anaknya
sejajar dengan anak-anak hebat.
Jadilah Cory menjadi anak mamah yang selalu
sibuk di kamar. Kamar jauh lebih disukainya dibanding bergaul dengan
teman-temannya. Bersosialisasi dengan
teman sebaya ini sudah lama dibatasinya, mengingat padatnya jadwal kegiatan.
Pola kebiasaan hidup Cory tidak lepas dari “grand
design” yang telah ditetapkan orang tuanya untuknya, sehingga pertanyaan
mendasar yang layak diajukan ialah: rencana besar yang dibuat orang tua Cory
sebenarnya untuk siapa? Benarkah semuanya untuk kesuksesan hidup dan
kebahagiaan sang anak? Benarkah saat anak sukses secara akademik berarti
menjamin sukses dalam menjalani hidup di kemudian hari?
Ibu Frita memandang ketrampilan akademis
merupakan hal yang terpenting dalam hidup. Ini tidak mengherankan, karena
sangat mudah untuk membaca parameter keberhasilannya, dan kenyataan dalam dunia
kerja hal ini selalu menjadi tolok ukur terpenting dalam rekrutmen pegawai.
Indeks prestasi yang tinggi ditambah dengan segepok sertifikat ketrampilan
tambahan akan menjadi tambahan bobot dalam seleksi.
Sejujurnya, pola pendidikan yang tidak
seimbang semacam ini tidak akan memberikan hasil manusiawi dan alamiah. Banyak
pemerhati anak yang perihatin karena semakin banyak saja orang tua yang
mengalami “rabun jauh” dalam menatap masa depan anak. Bekal akhlak, soft
skill dan life skill semakin hari semakin terpinggirkan. Padahal
banyak contoh kasus anak dengan intelegensia berkategori sedang jauh lebih
sukses menjadi “orang” karena bekal ketiga unsur tersebut. Namun anehnya,
banyak orang tua memilih “mendandani” anaknya dengan ketrampilan akademis.
Inikah kebutuhan anaknya, atau gengsi orang tuanya?
Mari kita kembali kepada kisah Ibu Frita dan anak
perempuannya, Cory. Ibu Frita dididik orang tuanya dalam budaya disiplin yang
kuat. Ibu Frita sejak kecil terbiasa membantu orang tuanya bekerja, sehingga tanpa disuruh Ibu Frita turun
melakukannya. Keterbatasan ekonomi orang tuanya tidak memungkinkan untuk
mempekerjakan seorang pembantu, sehingga dia juga membantu Ibunya mengurus adik bayinya. Bahkan sering dia
pergi ke pasar berbelanja karena sang ibu sangat sibuk.
Frita muda setiap hari membawa kue buatan
ibunya untuk dijual di “kantin” sekolah. Jadi suasana bekerja keras merupakan
menu hariannya, dan berkomunikasi dengan banyak kalangan sangat tidak asing
baginya. Dia sejak muda telah sanggup membaca denyut nadi masyarakat dengan
segala dinamikanya.
Sayangnya, Ibu Frita yang kenyang makan asam
garam “madrasah kehidupan” ternyata kurang jeli menilai perubahan jaman. Dia
berpikir, kesusahan dan hidup “keras” adalah bagian dari masa lalunya yang
tidak boleh terjadi pada anaknya. Semua yang dibutuhkan anaknya disiapkannya.
Jika anak butuh sesuatu cukup memanggil (baca: berteriak) nama “inem”, maka semuanya ada di depan mata.
Segala macam ilmu sopan santun yang
ditanamkan orang tua kepada Ibu Frita, seakan telah kadaluarsa. Segala bekal “pelatihan”
yang menyebabkan Ibu Frita dan suami sukses seakan tidak lagi penting di era
Cory. Kalau anak banyak bekerja, maka dikhawatirkan anak akan kehilangan waktu
untuk mensejajarkan dirinya dengan sebayanya untuk berprestasi.
bersambung : Egoisme Orang Tua Bertameng Cinta
bersambung : Egoisme Orang Tua Bertameng Cinta
0 Response to "Cinta Orang Tua kepada Anak"
Posting Komentar