Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ketulusan
berarti kesungguhan dan kebersihan (hati); kejujuran. Seseorang yang bersedia
untuk malakukan tugas dengan penuh tanggungjawab, amanah, mau berkorban,
sepenuh waktu dan jiwa, mencerminkan ketulusan.
Ketulusan merupakan sebuah persembahan amal
hati yang tersembunyi atau amal perbuatan yang nampak dalam rangka mengharapkan
keridloan dan kecintaan Sang Pencipta. Dalam bahasa agama disebut
keikhlasan. Keikhlasan merupakan ketulusan
karena Allah. Ketulusan yang tidak disandarkan
kepada Allah SWT tetaplah sebuah ketulusan, tapi bukan keikhlasan.
Bagi seorang muslim, ketulusan karena Allah atau
keikhlasan menjadi awal dari segalanya. Carut marutnya dalam kehidupan
berbangsa, penyalahgunaan wewenang, pengkhianatan pegawai, perekayasaan kebijakan,
dan perilaku menyimpang lainnya adalah bukti dari absennya ketulusan. Kekerasan
dalam dunia pendidikan seperti pelabelan (bodoh, nakal) dan kekerasan siswa, atau
perilaku lain yang membuat siswa tidak merasa nyaman untuk belajar juga bersumber
dari miskinnya rasa tulus seorang guru, apalagi ikhlas. Jadi ketulusan
menjadikan seseorang berperilaku positif dan konstruktif, dan hilangnya
ketulusan merupakan awal sebuah petaka timbulnya berbagai kekerasan dalam
pendidikan.
Agar ketulusan kemudian melekat dalam jiwa
seorang muslim ada beberapa petunjuk Ilahiyyah yang harus dipegang erat. Pertama,
mengembalikan pemahaman tentang segala aktivitas kehidupan; aktivitas hati,
lisan, tulisan, dan aktivitas lainnya harus diniyatkan sebagai persembahan
kepada Allah (ibadah). Syeikhul Islam
Ibnu taimiyyah mendefinisikan ibadah sebagai: ”suatu ungkapan yang mencakup
seluruh perbuatan hati, dan anggota badan yang diridloi dan dicintai oleh
Allah SWT, baik lahir maupun batin”.
Kedua, memurnikan niat semata karena Allah sampai
pada tingkatan ikhlas hakiki, sehingga bersih dari riya (ingin dilihat) dan shum’ah
) ingin terkenal) atau pamrih-pamrih yang lain. Keikhlasan kepada Allah syarat mutlak diterimanya
ibadah, dan tanpa keikhlasan semua usaha
dan jerih payah bernilai nihil, betapapun besarnya jasa seseorang di mata
manusia lainnya. Allah SWT berfirman :
”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus." (Al-Bayyinah
: 5)
Seseorang yang mencari nafkah, mendidik dan mengajari anak
atau murid, dan semua aktivitas hidup lainnya dimaksudkan sebagai ibadah untuk Allah SWT, maka barakah sang Maha Rahman
akan menaunginya sepanjang hayat masih dikandung badan. Demikian juga saat seorang
muslim rutin menambah ilmu, bersikap santun, dermawan, rendah hati, melayani
dan membantu masyarakat, maka keikhlasan ibadahnya akan mengantarkannya kepada
kedamaian dan ketenangan batin yang tak terukur.
Berbeda sekali saat orientasi ibadahnya salah,
tanpa keikhlasan. Hidup akan selalu ditimpa
oleh onggokan ketidakpuasan yang tak berkesudahan. Bak minum air laut, dahaga
tak kan berlalu. Bahkan, ketidakpuasan lama kelamaan menjelma menjadi ketamakan
dan akhirnya Machiavellianisme (menghalalkan segala cara) dihalalkan, bahkan didakwahkan.
Ketamakanlah yang
membuahkan kerusakan moral seperti konspirasi dan kolusi dalam usaha, pelelangan jabatan serta aneka bauran
kejahatan primitif dengan teknik kriminal modern. Puncaknya
manakala pemegang kekuasaan dan otoritas ilmu berbersepakat membuat kebenaran menjadi tidak pasti alias kabur. Bila hari ini sesuatu disepakati sebagai
kejahatan perampokan tingkat tinggi, hari berikutnya dengan bim salabim bisa
saja disepakati sebaliknya. Lebih
dahsyat lagi saat agama dianggap nisbi dan tidak menjawab persoalan,
sehingga boleh ditinjau atas nama hak asasi manusia. Di banyak penjuru bumi
Indonesia, sensitivitas masyarakat terhadap dosa dan kebiadaban juga semakin
melemah sehingga nilai-nilai materialistik yang bersifat kekinian jauh lebih
diterima dibanding nilai-nilai transenden yang berorientasi nanti.
Saat ini mulai dari diri sendiri, mulai dari
yang sederhana dan mulai dari lingkungan terdekat perlu berintrospeksi.
Keikhlasan harus dicita-citakan dan diimplementasikan dalam semua sendi
kehidupan. Dalam hal pendidikan, misalnya, perlu dimulai dengan mencari sekolah
yang diharapkan dapat mengantar anak kepada kesuksesan dua dunia. Bukan
karena gengsi atau mimpi, bukan hanya terpikat label-label internasional,
sedangkan kemana sekolah akan mengarah tidak diketahui. Islam tidak pernah memisahkan
ilmu dunia dengan ilmu Addin. Anak perlu diorientasikan untuk Allah, agar sukses
dunianya, dan selamat akhiratnya. Raihlah ”SBA” (sekolah berbasis
akhirat), bukan sekedar ”SBI” (sekolah bertaraf internasional).
Sekolah yang dipilih harus bisa menyuburkan atmosfir
ketaatan beribadah. Menangislah jika keluarga
atau anak enggan sholat. Menangislah kalau anak tidak lancar membaca Al-Quran. Menangislah
kalau anak tidak berakhlak mulia. Menangislah kalau anak tidak mengenal Tuhannya. Menangislah kalau
anak kita tidak mengenal Nabi dan Rasulnya.
Allah dengan kasih sayangnya mengingatkan
orang-orang yang beriman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (At-Tahrim: 6)
Keikhlasan menyebabkan segala sesuatu
berakhir baik. Keikhlasan menyebabkan amal
tak berakhir sia-sia. Keikhlasan akan mengundang simpati yang di langit
dan di bumi.
Author : Khalimi AM
0 Response to "Ketulusan Awal Segalanya"
Posting Komentar