Keakraban anak dengan televisi sudah sedemikian menghakhawatirkan. Adalah benar bahwa TV sebagai suatu produk teknologi bersifat netral. Manusialah yang membuatnya bermanfaat atau bermadlarat. Namun fakta menunjukkan bahwa TV lebih banyak memberi ”candu” dan ”racun” dibanding memberi ”madu” dan ”susu”. Kekerasan fisik, pornografi, gosip, budaya asing yang destruktif menjadi menu harian yang tak terhentikan oleh siapapun. Atas nama pasar semua menjadi halal, normal dan legal.
“Yang tidak
diajarkan televisi adalah cara membunuh televisi”. Begitu kata Taufik Ismail
dalam bait syairnya Malu Aku jadi Orang Indonesia. Sang Penyair angkatan
’66 itu bukan sembarang menuduh, melainkan mengekspresikan kegemasan dan
kecemasan yang tak terkira.
Pengasuh itu bernama TV
Banyak orang tua
yang merelakan anaknya “diasuh” oleh kotak ajaib yang bernama televisi (TV).
Bahkan, ada yang sejak usia balita sudah “diasuh” TV. Semakin jamak saja orang
tua yang merasa “nyaman” manakala anak tidak banyak berulah karena begitu “khusyu’nya
bercengkerama dengan TV. Tidak perlu dikhawatiri bahwa anak akan bermain di
luar dan melakukan hal-hal membahayakan. Cara berpikir seperti ini laksana
melepas anak dari mulut harimau dan memasukkan mereka ke mulut buaya.
Benarkan sikap
orang tua itu di tengah situasi (hampir) semua TV menomorsatukan rating, yang
berimplikasi pada dekadensi moral? Bukti empiris menunjukkan banyaknya anak terjelembab
kepada kesalahan dan kejahatan orang dewasa. Menganiaya membunuh, memalak, dan
memperkosa, adalah sedikit dari contoh perilaku destruktif yang terlanjur
dipelajari dan coba dipraktekkan oleh semakin banyak anak, tanpa kesadaran apa makna tindakan dan konsekuensinya.
Dalam
berkomunikasi, berdandan, berbelanja dan segala segi kehidupan, anak telah
begitu sempurna menjiplak para bintang iklan, sinetron dan film. Tayangan
visual ini tertanam dengan baik dalam
alam bawah sadar anak karena hadir di depannya berjam-jam setiap hari. Jangan
lagi bicara soal sopan santun, keramahan, dan kepedulian, yang sudah pasti
semakin jauh dari patron Agama dan budaya Indonesia.
Di depan TV anak
juga didoktrin untuk mengidolakan bintang-bintang. Bila dahulu anak terbiasa
dengan dongeng kepahlawanan Agama atau bangsa, yang mengajarkan kebenaran dan
keluhuran, saat ini anak harus mengkompetisikan dalam benaknya kepahlawanan
“masa lalu” tersebut dengan idola-idola kekinian yang membawa “kebaruan” dan
“kemajuan”. Tidak setiap orang tua mampu memediasi dan kemudian “memenangkan”
persaingan tersebut untuk para pahlawan yang sebenarnya.
Perilaku
ketergantungan anak terhadap TV dalam banyak kasus bahkan dimulai oleh orang
dewasa di sekitarnya. Begitu banyak acara-acara TV yang menjadi favorit mereka.
Bagi kaum Hawa tentu sinetron menjadi primadona, dan bagi kaum adam liga sepak
bola luar negeri seakan segalanya. Meski tontonan tersebut datang setiap hari, namun syaitan sang “motivator”
tak berhenti menjadikannya selalu istimewa dan utama.
Buku, Buku !
Masalah
kegandrungan anak terhadap TV sudah sering menjadi topik diskusi. Berragam
solusi ditawarkan, dari yang paling kooperatif; menyeleksi tontonan, memilih
waktu, hingga pendampingan, atau kombinasinya, hingga yang sangat ekstrim yaitu
menyingkirkan TV dari rumah. Pada tiap pilihan banyak yang sukses, namun
tidak kalah banyaknya yang gagal karena bermacam-macam sebab. Biasanya yang
paling sulit adalah mempertahankan konsistensi dan komitmen.
Banyak juga
orang tua yang cerdas dan arif. Selain melakukan pembatasan anak juga dipenuhi
rasa keingintahuannya dengan membeli buku dan piranti multi
media yang atraktif. Mereka sadar bahwa tontonan visual saja hanya akan
melahirkan kemalasan. Kemalasan visual mengakibatkan anak enggan membaca
(apalagi yang miskin gambar), karena terbiasa dengan tayangan visual yang
sangat menarik. Kemalasan mental memberi dampak lebih buruk, karena anak
terbiasa dengan logika-logika “film India”. Anak tidak perlu berpikir untuk
mencerna suatu tayangan, karena semuanya serba instan. Tiba giliran berpikir di
sekolah anak akan merasa repot dan capek, karena semuanya harus dipikir dengan
logika yang sehat.
Sejak sejarah
baca tulis ada, manusia mampu menggapai kesuksesan melalui buku. Memang membaca
terbukti dapat memberikan rangsangan paling kompleks bagi otak. Maka sudah
waktunya orang tua menyediakan perpustakaan pribadi di rumah dan mengelolanya
sedemikian rupa agar menarik. Kuncinya, bagaimana orangtua bisa menyajikan
atmosfir belajar kepada anak. Membaca harus menjadi budaya keluarga. Butuh
energi yang luar biasa, memang. Namun tidak sedikit juga yang sukses. Buktinya
dalam kancah dunia semakin banyak saja anak Indonesia yang sukses berkompetisi
dalam bidang-bidang yang menuntut kuantitas baca yang tinggi.
Budaya
berdiskusi juga lama-kelamaan akan terbangun. Budaya berdiskusi bukan sesuatu
yang mudah, karena menuntut orang tua melepas keakuan dan superioritasnya atas
anak. Anak harus bisa membuktikan bahwa orang tua tidak selalu benar dan boleh
diberi masukan. Budaya egalitarian juga akan terbentuk
sebagaimana Rasulullah dan para sahabat memberi tauladan. Ketika seorang petani
bertanya bagaimana cara menanam kurma, Rasulullah menyatakan, “antum a’lamu
biumuuri dunyakum”. Engkau lebih tahu tentang urusan duniamu. Meski seorang Nabi, tidak berarti beliau
tahu segalanya.
Author : Yasir
Abdurrahman Basalamah dan Tatun
Fitriyatun
0 Response to "Anak, Televisi, dan Buku"
Posting Komentar