Penghargaan itu Hilang Saat Kecewa Datang






Sejarah mencatat pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke-6 hijriyah tercapai kesepakatan antara Rasulullah dengan Suhail bin Amru yang tertuang dalam perjanjian Hudaibiyah. Kesepakatan  ini memicu gelombang kekecewaan yang amat besar di kalangan para sahabat kepada Rasulullah. Sampai-sampai perintah Rosululloh kepada mereka untuk menyembelih hewan qurban dan mencukur rambut kepala mereka, tidak ada seorangpun yang menaatinya, walaupun sampai beliau ulangi perintah ini sebanyak 3 kali. Bahkan sahabat sekaliber Umar bin Khathab pun merasakan ketidakpuasan yang luar biasa terhadap hasil kesepakatan ini.

Sering kali kita dihadapkan pada hal yang tidak bisa kita terima kenyataannya, menorehkan rasa kecewa yang berujung pada sikap menolak atau acuh terhadapnya. Ada begitu banyak rasa yang mampu hinggap dalam hati manusia; rasa bahagia, sedih, kecewa, penat. Inilah seni hidup, saat kita mampu menempatkan dan mengelola suatu rasa pada tempatnya. 

Soal rasa...
Siapa sangka bahwa rasa lebih berbahaya dari bisa racun ular? Rasa itu tersembunyi, keberadaannya di hati yang menuntut untuk dimengerti meski kadang menjadi teka-teki sehingga justru menyiksa diri. Rasa itu tak nampak tapi kadang menjebak. Hampir tak bisa kita bedakan mana yang benar dan salah jika hati ini diliputi rasa condong tertentu, Allah Ta’ala pun mengingatkan kita :

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Maidah : 8)

Hati, dimana segala rasa itu bersemayam, mampu menggerakkan setiap laku manusia. Ada begitu banyak anggapan dan kenyataan yang berkecamuk di dalamnya sehingga dibutuhkan pemikiran yang matang untuk melihat mana yang benar dan salah.

Bersama rasa...
Logika hadir sebagai pembeda, segala sesuatu dirunutkan sebagai sebab dan akibat. Pertimbangan yang panjang dan matang dengan segala konsekuensi dan hasil masing-masnig membuat setiap individu mampu berdiri tegak dengan keyakinan yang mantap. Bersama dengan jiwa besar, manusia akan mejadi manusia yang berpikir besar pula. Memang tiada yang salah soal rasa, tidak semua hal yang kita rasa sesuai dengan realita.

Dengan halus Allah pun mengingatkan kita mungkin ada sesuatu yang kita benci namun ada kebaikan di dalamnya serta sebaliknya. Bijaknya kita melihat rasa sebagai fitrah yang tumbuh dan berkembang untuk menjaga diri dari hal yang sia-sia. Rasa itu tak bertanya, cukup diterima lalu dicerna.       

Ini hanya soal permainan rasa...
Allah Ta’ala adalah sang Pemegang Hati yang tertinggi. Kembalikanlah semua pada kehendakNya, saat semua berjalan sesuai dengan takdirNya maka tak ada lagi menyisakan rasa untuk mengelak apalagi menolak. Dialah yang memiliki kuasa akan segala yang terbaik bagi setiap hambanya.

Ketaatan kepada rasul yang mendorong Umar bin Khathab menemui Abu Bakar untuk mencari jawaban atas rasa kecewa yang menyeruak di hatinya. Maka Abu Bakar menjawabnya;”Rasulullah adalah seorang utusan Allah. Beliau tidak akan pernah melanggar perintah-Nya, dan Dia adalah Penolong beliau. Maka tetaplah engkau mentaati beliau dalam kondisi apapun. Demi Allah, sesungguhnya beliau berada di jalan yang benar !”.

Author : Lusiana Nur Hermawati

0 Response to "Penghargaan itu Hilang Saat Kecewa Datang"

Posting Komentar