Mari Kita Tertawakan Kesalahan Orang Lain






Saat kita sedang berkumpul sekedar berbincang dengan teman, tentunya kita akan menemukan tema obrolan yang renyah sekedar melepas lelah. Tapi ada yang unik ternyata, seandainya tema pembicaraan tentang anak salah seorang dari teman kita mendapat juara I dalam suatu olimpiade internasional, pertama kita akan ikut memuji dan mengucapkan selamat (mungkin dalam hati sebenarnya menyimpan rasa iri kenapa anakku tidak seperti itu). 

Pembicaraan akan berlanjut seputar perjalanan dan proses menjadi juara. Saat bertemu keesokan harinya, apakah pembicaraan ini akan berlanjut ? Hmmmm rasanya kecil kemungkinan, kenapa ? Tak menarik membicarakan keberhasilan orang lain, hati ini seolah tak rela mendengar orang lain seperti membiarkan orang lain menjadi bintang utama dan kita jadi peran pembantu dalam drama kehidupan ini.

Akan beda ceritanya jika tema pembicaraan seputar berita anak salah seorang teman yang (maaf) hamil di luar nikah. Pembicaraannya bisa berlangsung amat seru, mulai dari keseharian si Anak, cara orang tua mendidik, reaksi keluarga yang mendengarnya, dll. Sungguh pembicaraan ini “renyah sekali” didengar seperti makan kacang goreng, selalu ingin tambah. Keesokan harinya saat bertemu kembali, pembicaraan masih seputar berita itu, tak bosan bahkan bumbu cerita makin bertambah sehingga rasanya tak cukup waktu untuk membicarakannya.

Inilah yang saya sebut dengan “mari kita tertawakan kesalahan orang lain”.

Di jejaring sosial yang semua orang semangat bicara, mudah sekali menemukan tabiat-tabiat kita ini. Tentu saja saya paham, itu amat menyenangkan dilakukan. Sungguh amat menyenangkan. Membuat lega, membuat santai. Tapi ketahuilah, orang-orang yang sibuk membicarakan kesalahan orang lain, tidak akan pernah paham, dia sedang berkubang di lumpur yang menyedihkan. Satu persatu kehilangan harga diri dan hingga suatu hari, tanpa dia sadari, ia semakin kehilangan rasa empatinya atas musibah yang menimpa orang-orang di sekitarnya. Melampaui batas kesopanan dalam menjaga pergaulan yang sehat.

Bad news is a good news, berita buruk adalah berita yang bagus untuk diliput. Berita keburukan seseorang atau sekelompok orang memang terasa “seksi” untuk dibicarakan, dikemas dengan program infotainment dibumbui alibi “berdasar fakta” menjadi senjata ampuh dalam melepas lelah. Program yang terbukti lebih merajai jam tayang di TV nasional kita, media cetak dan online. Seperti menari di atas penderitaan orang lain, birlah orang lain merasakan musibahnya dan kita membicarakan dan mengungkit seenaknya tanpa berimbang dengan solusi dan bukti.

Inilah yang saya sebut dengan “mari kita tertawakan kesalahan orang lain”.

Kita tidak akan pernah eksis dengan tabiat ini--sayangnya, banyak orang mencoba eksis dengan hal ini. Ingatlah selalu, saat orang lain terus melesat maju, sudah di mana-mana, sudah melakukan banyak hal, dengan tabiat ini kita justru tetap disitu-situ saja—bagaimana tidak di situ-situ saja, kita sibuk membicarakan kesalahan orang lain, bukannya segera introspeksi, mengevaluasi, menghisab diri sendiri. 

Ada begitu banyak orang yang bangkit dari kesalahannya dan terus berusaha menjadi yang terbaik ke depan, ia bertumpu tanpa terus tergugu dengan masa lalu. Ia yakin betul atas takdir yang lebih baik dengan bekal perbaikan saat ini. Pantaskah kita menertawakannya? Terus mengungkit dan berkubang dengan masa lalu sehingga kita lupa bahwa ia memiliki kesempatan kedua? Kitalah yang harusnya menertawakan diri kita atas kekeliruan ini.

Inilah yang akan saya sebut dengan “mari kita selesaikan kesalahan ini”.

Kita ada di posisi mana, yang ditertawakan atau yang menertawakan? Pernah ditertawakan? Wajar, jika kita pernah punya kesalahan atas khilaf diri, Allah memang sedang menguji seberapa kuat kita mengatasinya. Jika kita berhasil melewati ujian ini, kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan matang. Pernah menertawakan? Oh, siapa kita ini sehingga kita memiliki hak menertawakan kesalahan orang lain, kita pun memiliki banyak kekurangan. Kewajiban kita sebagai saudara seakidah adalah terus berupaya memperbaiki diri. Setelah diri ini soleh, selesaikah masalah? Tidak, kita pun berkewajiban saling menasehati dalam kebaikan, amar ma’ruf nahi munkar. Setelah kita soleh, maka solehkanlah orang lain ibarat air yang mensucikan. Bicarakanlah solusi yang bermanfaat untuk mejaga harga diri saudara kita.

Dan kabar baiknya, tentu saja, untuk kesekian kalinya, jika masih menertawakan kesalahan orang lain atas 'jalan di tempat' kehidupan diri sendiri, tak pernah kita menemukan kebaikan pada diri orang lain. 

Segera hentikan tabiat ini. Mendesak. Segera.

Author : Lusiana Nur Hermawati, S.Pd.


0 Response to "Mari Kita Tertawakan Kesalahan Orang Lain"

Posting Komentar