Menanam Kejujuran





Allah berfirman, Al-Ahzab: 70-71.
Kejujuran adalah kebenaran dalam berkata dan berbuat, yang pertama berarti berucap apa adanya sesuai dengan kenyataan, bila misalnya melakukan maka dia berkata melakukan, yang kedua berarti bertindak sesuai dengan aturan, bila misalnya dalam ujian sekolah, aturan mainnya adalah tidak boleh menyontek, maka tidak melakukan perbuatan ini adalah kejujuran.

Kejujuran merupakan sifat mulia dan akhlak terpuji, akal sehat dan fitrah lurus manusia secara umum memandangnya sebagai kebaikan dan kemuliaan, tabiat manusia secara global cenderung kepada orang yang memiliki sifat baik ini, dan sebelum semua itu, Islam sebagai agama kebaikan dan keluhuran, telah menetapkannya dalam deretan akhlak-akhlaknya di mana ia mengajak pemeluknya untuk menghiasi diri dengannya.

Tingginya kedudukan sifat mulia ini dalam Islam terlihat pada ayat di atas, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkannya sebagai salah satu perintahNya, Dia mengaitkannya dengan iman dan takwa, dan menjadikannya sebagai sebab untuk memperbaiki perbuatan dan diraihkan ampunan dariNya.

Dari sisi Rasulullah, beliau menetapkan kejujuran sebagai sifat orang beriman, beliau bersabda, “Tidak ada iman bagi siapa yang tidak punya amanat.” Diriwayatkan oleh Ahmad no. 11975, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami' no. 7179. Dan amanat merupakan kejujuran.

Bila beliau menetapkan dusta sebagai salah satu sifat orang munafik dalam sabda beliau, “Tanda orang munafik ada tiga: Bila berbicara, dia berdusta…” Muttafaq alaihi, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, maka hal ini berarti jujur merupakan sifat orang mukmin.

Beliau menyatakan bahwa kejujuran adalah pengantar menuju surga, beliau bersabda, “Jujurlah karena kejujuran membawa kepada kebaikan dan kebaikan membawa ke surga.” Muttafaq alaihi.


Menanamkan Kejujuran
Setelah mengetahui kejujuran sebagai akhlak Islam yang luhur, maka sebagai muslim, tentu Anda patut berusaha menjadikannya sebagai salah satu sifat penghias diri dengan menanamkannya dalam jiwa dan mengekspresikannya dalam kehidupan, tidak berhenti sampai di sini, Anda pun patut berupaya menanamkannya kepada orang-orang terdekat di sekitar Anda, wa bil khusus anak-anak Anda.

Memulai dengan diri
Bila Anda ingin menularkan sesuatu kepada orang lain maka Anda harus mempunyai sesuatu tersebut, bila tidak maka sama dengan menggantang asap, jauh panggang dari api. Masalahnya sederhana saja, bagaimana Anda memberi sementara Anda sendiri tidak berpunya? Orang Arab berkata, orang yang tidak punya sesuatu tidak memberi. Sebuah kendi akan memberi Anda air untuk Anda minum bila ia memang berisi air, lalu apa yang ia berikan bila ia kosong?

Bila seorang guru menjalani ujian di masa kuliah sarjananya dengan mengcopi jawaban temannya, bisakah dia menerapkan asas kejujuran pada anak-anaknya saat dia mengawasi ujian mereka? Rasanya kok sulit, yang ada adalah kecenderungan untuk membiarkan mereka melakukan hal yang sama.

“Saya dulu juga begitu.” Demikian hatinya berkata. Kalau sebaliknya, dia menerapkan kejujuran, tidak mengizinkan anak-anaknya menyontek seperti dirinya dulu, maka ini adalah kontradiksi, mana boleh? Ipin bilang,

“Boleh, boleh, boleh.” Bila Anda ingin anak-anak Anda jujur, maka jujurkanlah diri Anda terlebih dulu, dengan itu Anda bisa menularkan kejujuran kepada mereka, karena Anda memilikinya. Lha yang sudah jujur saja terkadang masih sulit menularkan kejujuran, lalu bagaimana dengan yang tidak jujur?

Menunjukkan Teladan
Keteladanan di sini adalah kesesuaian antara kata-kata dengan perbuatan. Bila Anda mengajak dan mendorong anak-anak untuk jujur, maka biarkan mereka melihat kejujuran itu nampak jelas dalam perbuatan Anda, karena dengan itu mereka akan percaya kepada Anda, ternyata bapakku tidak omong doang, begitu pikir salah seorang dari mereka.

Bagaimana seandainya saat Anda sedang di rumah, seseorang mencari Anda lalu Anda berkata kepada salah seorang anak, “Bilang kepada orang itu bapak tidak ada” Anak akan menangkap kontradiksi antara kata-kata dengan perbuatan pada diri Anda. Jangan anggap sepele karena perkaranya memang tidak sepele, dorongan Anda kepada mereka untuk jujur telah Anda hancurkan sendiri dengan perbuatan Anda sementara Anda tidak menyadarinya.

Di samping itu, bukankah kontradiksi antara kata-kata dengan pebuatan termasuk kebohongan? Mana bisa menanamkan kejujuran dengan kebohongan? Tidak ubahnya tangan kanan Anda membangun sementara tangan kiri Anda menghancurkan, lalu kapan bangunan akan rampung? Kapan rumah Anda akan bersih bila Anda menyapunya dengan sapu yang kotor? Benar-benar gak patut. Ayat al-Qur`an berkata, “Afala ta’qilun?”

Menanamkan sejak dini
Karena pembentukan anak dalam usia ini lebih mudah dan bila sudah terbentuk maka sulit untuk terkikis. Lebih mudah karena ruang kosong pada diri anak masih sangat lebar, belum banyak terisi oleh pengaruh luar, tinggal pandai-pandainya kita mengisi, seperti gelas kosong, mengisinya mudah, lain halnya bila ia sudah terisi, Anda harus menuang isinya dulu, membersihkannya, baru kemudian mengisinya, ibarat ranting pohon yang masih kecil, mudah ditekuk ke kanan dan ke kiri, bila ia semakin besar, menekuknya semakin sulit.

Sulit terkikis karena karena ia tertancap kuat dalam benak, tertanam kokoh dalam hatinya, seperti pahatan di atas batu. Manakala anak ditanami kejujuran saat dia masih hijau, diberitahu bahwa kejujuran itu baik, diberi contoh dan didorong kepadanya dengan baik dan intensif, maka kejujuran akan melekat erat sebagai kebaikan sehingga dia akan memegangnya sampai dewasa sebagai keluhuran. Anak muda di kalangan kami tumbuh di atas sesuatu yang dibiasakan oleh bapaknya.

Membentengi dari faktor luar
Anak tidak selalu hidup bersama Anda dan Anda pun tidak mungkin memperlakukannya demikian, karena dia mempunyai habitatnya, lingkungan rumah dan lingkungan sekolah, teman-teman bermain dan teman-teman belajar, di antara mereka ada teman-teman yang baik dan jujur, di antara mereka ada yang buruk dan curang, dan tabiat pertemanan adalah saling mempengaruhi, pengaruh ini bisa dari salah satu pihak atau dari keduanya secara seimbang atau timpang.

Ada yang berkata, anak belajar jujur di tangan orang tua dan gurunya, di saat yang sama, dia belajar dusta dari sohib-sohibnya yang jumlahnya lebih banyak dengan interaksi lebih kuat, lalu kira-kira siapa yang mendominasi?

Agar usaha Anda dalam menanam kejujuran pada anak tidak menemui tembok penghalang, maka letakkan anak di lingkungan yang mendukung dan menunjang, selektif dalam memilihkan teman bermain dan lingkungan sekolah sehingga upaya Anda selaras dengan lingkungannya, dengan begitu Anda bisa berharap hasil yang baik.

Sebaliknya akan pecuma bila anak ‘diterlantarkan’ bersama lingkungan yang bertabrakan dengan apa yang Anda upayakan. Kira-kira kapan bangunan Anda akan selesai bila Anda membangun sementara orang lain merobohkan? Satu orang peroboh saja sudah cukup, lalu bagaimana bila sepuluh, seratus dan seribu?

Seimbang dalam Menghukum
Anak adalah anak, maksud saya siapa pun dia, dia tetaplah anak seperti pada umumnya, tidak jarang dia melakukan kesalahan, sengaja atau tidak, sebagian darinya mungkin dalam pandangan Anda berat sehingga dalam hemat Anda dia patut dihukum agar tidak mengulangnya atau mengulang sejenisnya, saya tidak mempermasalahkan keinginan Anda untuk menghukum, tetapi saya hanya ingin berkata agar Anda seimbang, tidak memperturut amarah dalam menghukum sehingga ia tetap dalam koridor proporsional, karena bila tidak, apalagi bila hal seperti ini terulang, maka anak berusaha mencari tameng pelindung dari hukuman berat yang Anda timpakan, dan dalam kamusnya tameng
terkuat adalah menanggalkan kejujuran dan merekayasa kedustaan dengan tujuan terbebas dari hukuman, karenanya pertimbangkan hukuman Anda, jangan sampai ia membuka kesalahan baru di mana Anda berusaha menutupnya.

Mengembalikan kepada Allah
Setelah semua usaha ini, jangan lupa untuk memulangkan urusan kepada Allah, karena Dialah penentunya, dukung usaha Anda dengan doa kepadaNya agar memudahkan usaha Anda dan memberikan taufik kepada diri dan anak-anak. Bila Allah melimpahkan taufikNya kepada usaha seseorang maka kebaikan merupakan hasil yang membahagiakan. Wallahu a'lam.

Author : Izzudin Al Karimi


0 Response to "Menanam Kejujuran"

Posting Komentar