Karena Cinta, Maka Kita Manusia






"....Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi".

Begitulah BJ Habibie melukiskan kehampaan hatinya saat sang Istri tercinta, Ainun, pergi untuk selamanya. Dalam waktu sekejap, hatinya kosong seperti tak memiliki arti lagi. Perpisahan dengan orang tercinta selalu menyisakan sesak yang menyeruak bersama perih yang tak terkira. Menapaki setiap moment yang terlewati bersama justru makin menambah rasa sedih serasa semua memori kebersamaan itu belumlah cukup. Hal klasik yang selalu terulang bahwa akan ada perpisahan dalam setiap pertemuan, namun rasa perpisahan pada setiap orang menjadi berbeda-beda karena besar kecilnya kekuatan cinta yang mewarnainya.

Saat cinta itu ternoda...
Ummu Salamah begitu menderita saat dipisahkan dari anaknya saat ia ingin berhijrah bersama keluarganya ke Madinah, namun saat ini ada ibu yang tega menghilangkan nyawa anaknya sendiri dengan dalih lemahnya ekonomi. Bukankah surga berada di telapak kaki ibu? Bukankah kasih ibu itu sepanjang jalan? Saat cinta ibu ternoda oleh ketakutan atas lemahnya keyakinan kepada Allah, maka cinta itu hanya akan menorehkan luka bukan pengorbanan layaknya Ummu Salamah yang berjuang demi pertemuannya dengan sang Anak tercinta.   

Saat cinta itu ternoda...
Cinta memang fitrah manusia, semua diciptakan untuk berpasang-pasangan. Begitu penting cinta itu tumbuh dalam hati tiap manusia sehingga Allah Ta’ala pun membingkainya dalam ikatan pernikahan. Lemahnya hati dalam menjaga fitrah cinta membawa ia dalam hubungan yang justru meremehkan proses menuju sempurnanya separuh dien. Perjalanan cinta tak hanya proses menggenapkan separuh dien saja, namun saat menjaga janji suci sehingga tak ternoda aroma adanya pihak ketiga pasca genapnya dien. Sejarah cinta Rasulullah tak ternoda sehingga masih terekam kuat dalam ingatan bahwa Rasulullah tak pernah melupakan cintanya kepada Khadijah sehingga beliau selalu menyediakan satu piring kosong di meja makan saat beliau akan bersantap bersama Aisyah. Cinta yang tak pernah sirna walau raga tak lagi bersua. 

Karena cinta, maka kita manusia...
Apalagi yang kita miliki saat ketampanan sudah habis dimiliki oleh Nabi Yusuf AS? Apalagi yang kita miliki jika kecerdasan dan kecantikan telah dimiliki oleh Aisyah Ra? Apalagi kebaikan dan kesabaran yang kita miliki jika Rasulullah telah membuktikan kesempurnaan akhlaknya dalam menegakkan tauhid kepada Allah Ta’ala?

Kita memang hanya manusia biasa, penuh dengan ketidaksempurnaan bahkan kerap jatuh ke lubang kesalahan yang sama. Hati kita masih dan akan terus berjuang dalam usahanya menjadi manusia yang berbudi dan beradab. Cinta kepada Allah Ta’ala mendorong kita untuk terus menjalankan perannya sebagai muslim sejati. Cinta karena Allah Ta’ala menjadikan kita menjadi insan mulia yang tak menodai cinta karena keinginan sesaat.

Inilah jalan cinta yang bisa kita tempuh sebagai manusia biasa yang masih harus terus belajar hingga akhir hayat. Karena pengetahuan dan pengalaman adalah perolehan hidup yang membuat kita tampak matang. Dan kematangan itulah pesonanya. Sebab, setiap kali pengetahuan kita bertambah, kata Malik bin Nabi, wajah kita akan tampak lebih baik dan bercahaya.

Author : Lusiana Nur Hermawati

0 Response to "Karena Cinta, Maka Kita Manusia"

Posting Komentar