Ibu, aku naik kelas






Kerinduan adalah belai lembut kasih sayang dalam lagu nina bobo yang mengantarku pada serangkaian mimpi hingga terlelap dalam dekapanmu. Kerinduan adalah kesunyian dan rasa sepi dalam kesendirian yang menjadikanku kuat karenanya.

Aku merindukanmu, Ibu.

Namaku Annisa, anak kedua dari tiga bersaudara berasal dari sebuah keluarga kecil yang tinggal di salah satu perkampungan di pinggiran kota kembang. Aku masih duduk dibangku kelas lima sekolah dasar.

Sepeninggal ibu empat tahun yang lalu, aku berubah menjadi seorang sosok perempuan kecil yang pendiam dan tak banyak bicara. Aku kehilangan senyuman dan keceriaan, terlebih lagi ketika saat itu bapak berencana untuk berangkat transmigrasi ke Sumatera membawa Syamsul kakakku dan si bungsu Rahman adikku. Aku tak dapat menahan airmata, menangis sejadi-jadinya, seketika semua menjadi gelap dalam pandanganku.

Yaa Rabb, Yaa Tuhanku tak kuat kutatap raut wajah bapak dan kedua saudaraku. Sesak. Seperti ada yang menghalangi saluran pernafasanku. Ingin rasanya aku mati saja menyusul ibu yang telah terlebih dulu menghadap-Mu.

Aku dititipkan bapak kepada salah satu sanak keluarganya yang juga tidak begitu mampu yang tinggal tak jauh dari rumah tempat tinggal kami.
Belakangan aku mengerti, karena aku adalah seorang perempuan. Itulah sebabnya mengapa aku tidak dibawa serta ke Sumatera bersama mereka. Mungkin dengan adanya aku aktivitas bapak nantinya akan menjadi sedikit terhambat.

Hari-hari kulalui dengan kerinduan yang begitu dalam. Akulah perempuan kecil yang hidup dalam selimut airmata. Seorang diri, ya aku merasa sendirian dalam kesepian yang begitu panjang tanpa canda tawa dan hangatnya usap lembut orang tua. Entah sampai kapan.

Setiap kali sebelum berangkat sekolah, aku harus mengumpulkan kantong demi kantong plastik yang berisi sampah dari rumah tetangga untuk kubuang ke tempat penampungan sampah. Dari sana aku bisa mendapatkan koin seratus rupiah sebagai upahnya yang kemudian aku gunakan untuk sangu bekal sekolah meskipun seringnya aku kumpulkan untuk membeli buku dan beberapa perlengkapan sekolah, karena aku pikir tak mau membebani saudara yang telah mengurus dan memberiku makan setiap harinya.

Beruntung untuk biaya sekolah ada beberapa wali murid yang berbaik hati, dari situlah aku mendapatkan beasiswa sehingga masih dapat melanjutkan pendidikan.
Ketidakmampuan dalam materi tidak lantas menjadikanku sebagai perempuan yang malas dan mudah menyerah pada keadaan, justru sebaliknya. Semua yang telah menimpaku aku jadikan cambuk dan tempaan yang akan menguatkanku kelak. InsyaAllah.

Aku yang masih terlalu muda juga sama seperti kebanyakan orang, mempunyai mimpi dan harapan.
Aku berharap kelak menjadi orang yang berhasil meskipun kini hidup dalam segala keterbatasan.
Aku berharap dapat segera berkumpul kembali bersama bapak dan kedua saudaraku.

Waktu terus berlalu. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Sudah hampir empat tahun kami tidak berjumpa, rasanya seperti ribuan tahun. Jangankan untuk berjumpa, bahkan hingga saat ini tak kudapatkan kabar dari bapak ataupun kakakku di sumatera.
Yaa Rabb, semoga Engkau melindungi mereka. Untukku.
Aku hanya ingin memberikan kabar gembira kepada mereka.
Ibu, Bapak, Kak Syam, Dik Rahman lihatlah Nisa naik kelas !

Author : Saloka Mei

0 Response to "Ibu, aku naik kelas"

Posting Komentar