Ramadhan datang setiap tahun, tanpa pernah absen mengunjungi penduduk bumi.
Allah telah menjadikan Ramadhan sebagai ajang latihan mengekang nafsu kebinatangan
dan kesyaithanan hambaNya, agar menjadikannya manusia tulen, dan bukan setengah manusia. Allah juga menfasilitasi
mu’min dengan mekanisme pensucian bathin
yang ajaib.
Pada bulan tersebut Allah memberlakukan “reward fair”. Siapa yang
berkehendak untuk melebur dosa dan menggali banyak pahala maka Allah
“mengobral” kemurahanNya. Semua serba dilipatgandakan. Lingkunganpun
dikondisikan sedemikian rupa sehingga manusia secara jama’i (kolektif) mudah berbuat
baik.
Allah yang menciptakan manusia, maka hanya Allah yang paling tahu kebutuhan
hidup hambaNya. Ibarat produk elektronik atau mekanik yang dilengkapi manual,
maka keawetan dan ketepatgunaan produk terjadi bila manual dipedomani dengan
baik. Pabrik tahu persis kelemahan dan keunggulan produknya, dan puncak kinerja
hanya terwujud ketika buku petunjuk dipatuhi. Manual mengarahkan agar produk dipelihara,
diservis secara terjadwal, dan bahkan kalau perlu dioverhaul (perbaikan
besar).
Begitulah kurang lebihnya manusia. Kalau amaliah wajib dan sunnah harian
merupakan pemeliharaan dan servis, maka amaliah Ramadhan merupakan overhaul.
Puncak dari semua ibadah selama setahun. Itulah juga mengapa banyak orang
yang lebih suka membayar zakat mal pada penghulu semua bulan ini, untuk menyempurnakan
proses overhaul.
Sungguh terlalu singkat umur manusia. Bila dia dikaruniai umur 60, maka dia
hanya memiliki efektif waktu sekitar 45 tahun. Berapa persen persembahan untuk
Tuhannya? Kalau dari segi kuantitasnya saja pantas untuk kita cemasi, apa ada anak
Adam yang pede mengatakan bahwa kualitas
ibadahnya sudah di zone aman?
Para Nabi dan sahabat terpilih yang terjamin nasibnya kelak di akhirat dan banyak
investasi surgawinya pun, nyatanya selalu dalam keadaan siaga dan khawatir yang
mendalam, seakan mereka berdiri di mulut jurang neraka! Jangan-jangan banyaknya
orang yang merasa aman dari kemiskinan amalnya barangkali karena memang mereka
tidak pernah merasa berada di tepi jurang.
Bagi mu’min yang cerdas 24 jam hidupnya setiap hari adalah ibadah. Makan,
tidur, tawa, tangis, kerja, bersosial, dan sebagainya adalah ladang baginya
untuk melakukan fungsi kehambaan secara paripurna. Kalau ibadah dimaknai hanya
sebagai ritual saja maka bukan saja terlalu sedikit bekal yang bisa kita
siapkan, namun keliru secara hakekat. Perhatikan apa yang kita ucapkan dalam
iftitah shalat: “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya
kupersembahkan untuk Tuhan semesta alam”.
Sebenarnya bulan Ramadhan adalah bulan akselerasi amal. Tidak makan, minum, dan pengekangan nafsu lainnya
bahkan sebenarnya hanya merupakan simbol, media, bukan esensi. Meski secara
fisik dan emosi ternyata luar biasa bermanfaat. Dalam konteks ini, adalah seorang
mu’min cerdas yang selalu merindukan status ketaqwaan atas dirinya. Dia
meyakini sepenuh hati kebenaran firman Allah yang Maha Pandai: “sesungguhnya
orang yang termulia diantaramu adalah yang paling bertaqwa”.
Siapa yang tak ingin dianggap
termulia oleh yang Maha Mulia? Dengan keyakinan ini mu’min sejati akan mampu
melihat hakekat tak kasat mata dengan berbekal keimanan kepada segala yang
ghaib. Dia tak pernah berhenti mencari taqwa, karena menjadi muttaqin berarti
jaminan jauh dari kesulitan hidup, kemudahan meraih riqki dan kelancaran segala
urusan hidup (ath-Thalaq, 2-4). Oleh sebab itu dia akan berjuang keras dengan hati, tenaga, harta dan pikirannya,
siang dan malam, untuk meraih ketakwaan. Dan Ramadhan adalah wahana belajar,
berkarya, dan berkontemplasi agar meraih ketakwaan.
Seseorang bercerita bahwa 35 usia efektifnya telah berlalu, yang
berarti 35 kali berpuasa Ramadhan, ternyata tidak ngefek sedikitpun
terhadap dirinya, dan tetap saja seperti orang kebanyakan. Tujuan utama puasa
untuk menjadikannya orang yang berlaku taqwa belum jelas bayangannya, meski
ilmu laku taqwa bisa jadi sudah bejibun dalam benaknya. Memang, target
ibadah orang awam ya hanya untuk menggugurkan kewajiban, titik. Maka membentuk
kesadaran berreposisi menjadi kata kunci.
Kesadaran akan waktu barangkali bisa menjadi agenda sentral Ramadhan kita
tahun ini. Kalau setiap hari kita sanggup mengorganisasi orang dan sederetan
acara keduniaan, mengapa kita tidak bisa menyusun agenda reformasi ukhrawi
untuk diri kita sendiri dengan tahapan-tahapan realistis? Begitulah kira-kira
pesan dalam tulisan Ust. Nizar Jabal. Seperti wejangan junjungan Nabi kita,
bahwa orang terbaik bukan yang tidak pernah salah, namun dia yang menyadari kesalahan
dan bertindak sesuai dengan yang diperlukan. Allah malah secara tegas
memerintah kita untuk rajin mengevaluasi diri untuk menyongsong masa depan, dengan
firmannya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Hasyr, 18)
Dan tidak lupa mengingatkan tentang pentingnya mempersiapkan anak sejak
diri dengan “kesulitan-demi-kesulitan” a la Ramadhan agar anak memiliki
daya tahan banting yang kuat. Anak yang terlatih dalam dojo Ramadhan
akan memiliki celupan khas Ramadhan yang akan memodalinya menuju hari depan
yang serba tidak pasti. Mentalitas Ramadhanlah yang akan membuat anak tidak
larut oleh zaman, dan bahkan mewarnainya.
Akhirnya harus disadari bahwa hidup itu ibarat sedang dalam satu antrian. Akan datang masanya untuk
menerima giliran dipanggil. Saat itu tidak ada yang kuasa mengatakan : “ Nanti
ya Allah.. sebentar lagi ya Allah.., dan
sebagainya. Padahal Allah dengan siraman cintanya saat di dunia selalu menasihati
hambanya: “Terus berbekallah wahai
hambaku...., dan ketahuilah bahwa
sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepadaku wahai hambaku yang
cerdas (al-Baqarah 197). Jadi, tahun ini Ramadhan tidak boleh lagi berlalu
begitu saja. Siapa tahu ini adalah Ramadhan terakhir kita, bukan? Ahlan wa
sahlan ya Ramadhan....!
Author : Yasir
Abdul Rahman
0 Response to "Ramadhanku, Riwayatmu Kini"
Posting Komentar