Alhamdulillahi
wahdah, wash shalatu wassalamu 'ala rasulillah…
Prolog
"Masya
Allah, akhlak pak anu bagus banget lho!" kata seorang bapak
'mempromosikan' rekan kerjanya.
"
Buktinya apa?" tanya lawan bicaranya.
"Kalau di
kantor ia ramah banget, apalagi kalau sedang berhadapan dengan bosnya!"
jawabnya.
"Wuih,
bu anu akhlaknya baik banget!" komentar seorang ibu tatkala membicarakan
salah satu tetangganya.
"Darimana
ibu tahu?" tanya temannya.
"Itu lho jeng,
kalau di arisan RT, dia tuh ramah banget!" sahutnya.
Begitulah
kira-kira cara kebanyakan orang menilai mulia-tidaknya akhlak seseorang.
Sebenarnya, pola penilaian seperti itu tidaklah mutlak keliru. Hanya saja tidak
cermat. Sebab boleh jadi seseorang memiliki
dua standar akhlak yang berbeda. Berakhlak mulia di satu tempat, tetapi berbeda
di tempat yang lain, bergantung kepentingannya.
Lantas,
bagaimanakah Islam membuat barometer penilaian kemuliaan akhlak seorang?
Tulisan berikut berusaha sedikit mengupas permasalahan tersebut.
Islam Agama
Akhlak
Di antara
tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad shallallahu'alaihiwasallam, selain
untuk menegakkan Tauhid di muka bumi, adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak
umat manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda beliau,
"Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia". HR. Al-Hakim dan disahihkan oleh adz-Dzahabi dan al-Albani.
Sedemikian
besar perhatiannya terhadap pembuktian akhlak, hingga Islam menjelaskan hal ini secara rinci, seperti bagaimanakah
akhlak seorang muslim kepada Rabbnya, keluarganya, tetangganya, bahkan kepada
hewan dan tetumbuhan sekalipun!
Di antara hal
yang tidak terlepas dari sorotannya ialah penjelasan tentang barometer akhlak
mulia. Yakni, kapankah seseorang itu berhak dinilai memiliki akhlak mulia. Atau
dengan kata lain sisi apakah yang bisa dijadikan 'jaminan' bahwa seseorang itu
akan berakhlak mulia pada seluruh sisi kehidupannya apabila ia telah berakhlak
mulia pada sisi yang satu itu.
Barometer
Akhlak Mulia
Panutan kita
Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam menjelaskan permasalahan di atas:
"Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling
baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku". HR. Tirmidzi (hadits
ini hasan gharib sahih).
Hadits di atas
terdiri dari dua bagian. Pertama, penjelasan tentang barometer akhlak mulia.
Kedua, tentang siapakah yang pantas dijadikan panutan dalam hal tersebut.
Dalam kaitan
dengan hal di atas, penulis akan mengupas dua bagian tersebut.
Pertama: Mengapa
berakhlak mulia kepada keluarga, terutama terhadap istri dan anak-anak,
dijadikan barometer kemuliaan akhlak seseorang?
Sekurang-kurangnya,
ada dua hikmah di balik peletakan barometer tersebut[1]:
a. Sebagian
besar waktu seseorang dihabiskan di
dalam rumahnya bersama istri dan anak-anaknya. Andai seseorang bisa bersandiwara dengan berakhlak mulia di
tempat kerjanya - yang hanya memakan
waktu beberapa jam saja - belum tentu ia bisa bertahan untuk terus melakukannya
di rumahnya sendiri. Pada saat itulah manusia terlihat akhlak aslinya. Seandainyapun
dia bisa bermuka manis dan bertutur kata
lembut, namun, karena itu bukanlah watak aslinya, maka dia akan sangat tersiksa
jika harus terus mempertahankannya. Sebaliknya,
jika di rumah berakhlak mulia, insya Allah secara otomatis ia akan melahirkannya
di manapun berada.
b. Di tempat
kerja, mungkin ia hanyalah sebagai bawahan, yang notabene lemah. Sebaliknya,
ketika di rumah posisinya kuat, karena menjadi kepala rumah tangga. Perbedaan
posisi tersebut berimbas pada sikapnya di dua tempat yang berbeda itu. Ketika
di kantor, ia musti menjaga 'rapor'nya di mata atasan, sehingga membuatnya melakukan apapun demi meraih tujuannya itu. Adapun
di rumah, di saat posisinya kuat, dia bebas melakukan apapun, tanpa perlu khawatir
akan dipotong gajinya atau dipecat.
Demikian bila
kondisi orang yang berakhlak mulia karena kepentingan duniawi. Adapun yang berakhlak
mulia karena Allah maka akan terus berusaha mewujudkannya dalam situasi dan
kondisi apapun, sebab ia merasa selalu di bawah pengawasan Dzat Yang Maha
melihat dan mengetahui.
Kedua:
Beberapa potret akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terhadap
keluarganya.
Sebagai
teladan ummat, amatlah wajar jika praktik keseharian Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dalam bergaul dengan keluarganya kita pelajari. Dan tentu saja
lautan kemuliaan akhlak beliau terhadap keluarganya tidak bisa dikupas dalam
lembaran-lembaran tipis ini. Oleh karena itu tulisan ini hanya akan menyebut
sedikit contoh sebagai gambaran.
a. Turut
membantu urusan 'belakang'.
Biasanya,
urusan dapur dan tetek bengeknya merupakan
kewajiban istri. Meskipun demikian, hal ini tidak menghalangi Rasulullah untuk
membantu pekerjaan para istrinya. Dan
ini tidak terjadi melainkan karena sedemikian tingginya kemuliaan akhlak beliau.
Urwah bertanya kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang
dikerjakan Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau
melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang
membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat
air di ember”. HR. Ibnu Hibban.
Subhanallah! Di tengah kesibukannya berdakwah, menjaga
stabilitas keamanan negara, berjihad, mengurusi ekonomi umat dan lain-lain,
beliau masih bisa menyempatkan diri mengerjakan hal-hal yang dipandang rendah
oleh banyak suami di zaman ini! Andai saja para suami mau mempraktekkan hal-hal
tersebut, insyaAllah keharmonisan rumah tangga mereka akan langgeng.
b.
Berpenampilan prima di hadapan istri dan keluarga.
Aisyah, salah
seorang istri Rasulullah, menyampaikan pengamatannya;
“Nabi shallallahu
'alahi wasallam jika masuk ke rumahnya, hal yang pertama kali
beliau lakukan adalah bersiwak”. HR. Muslim.
Bersiwak ketika pertama kali masuk rumah? Suatu hal yang mungkin tidak
pernah terbetik di benak kita. Tetapi, begitulah cara Nabi kita menjaga
penampilannya di hadapan istri dan
putra beliau. Ini hanyalah satu contoh potret kemuliaan akhlak Rasulullah
kepada keluarganya.
c. Tidak bosan untuk terus menasihati istri dan
keluarga.
Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam
mengingatkan,
“Ingatlah, hendaknya kalian
berwasiat yang baik kepada para istri”. HR. Tirmidzi dan dinilai hasan
oleh Syaikh al-Albani.
Timbulnya riak-riak dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang
lumrah. Namun, jika sampai mengotori keharmonisan jalinan kasih sayang suami
dan istri, tentulah sangat berbahaya. Agar mimpi buruk itu tidak terjadi,
seyogyanya ditumbuhkan budaya saling memahami dan menasihati antara suami dan
istri.
Benih-benih kesalahan yang ada dalam diri pasangan suami-istri hendaknya
tidak didiamkan saja dengan dalih menjaga keharmonisan rumah tangga. Sebaliknya,
kesalahan-kesalahan itu justru harus segera diluruskan dengan cara yang elegan dan tidak menyakiti
hati pasangannya.
Epilog
Semoga tulisan sederhana ini bisa dijadikan sarana instrospeksi diri terutama
bagi mereka yang menjadi panutan orang banyak; da'i, guru, ustadz, pejabat dan
yang semisalnya- untuk terus berusaha meningkatkan kualitas mu’amalah para
panutan itu terhadap keluarga mereka masing-masing. Jika sudah demikian,
berarti mereka telah betul-betul berhasil menjadi qudwah luar-dalam. Wallahu
a'la wa a'lam.
[1] Disarikan
dari kitab al-Mau'izhah al-Hasanah fi al-Akhlâq al-Hasanah, karya Syaikh
Abdul Malik Ramadhâni (hal. 77-79).
Kedungwuluh Purbalingga, 7 Rabi'ul Awal 1431 / 21
Februari 2010
Author : Abdullah
Zaen, Lc, MA.
Pengasuh Pondok Pesantren “TUNAS ILMU”
Kedungwuluh Kalimanah Purbalingga Jawa Tengah
0 Response to "Barometer Akhlak Mulia"
Posting Komentar