Ramadhan : Bangga Dengan Taqwa






Allah SWT menyeru kita semua,  orang-orang mukmin,   untuk melaksanakan shaum  (puasa) Ramadhan, agar mereka menjadi orang-orang yang bertaqwa. (QS 2: 183). Ya, menjadi orang yang taqwa, adalah tujuan utama ibadah Ramadhan. Mungkin tidak mudah bagi banyak orang untuk membayangkan apa nikmat dan enaknya menjadi orang yang bertaqwa? Apa yang perlu dibanggakan dengan taqwa?

Berbeda halnya, misalnya, dengan menjadi presiden, anggota DPR, menjadi direktur, menjadi selebritis. Tergambarlah dengan mudah, enaknya jadi seorang Presiden. Kemana-mana dikawal, masuk keluar mobil pintu dibukakan. Tasnya dibawakan. Mau pidato, teksnya disodorkan. Jika lewat di jalan raya, bisa dengan leluasa, karena semua harus menyingkir dari laluannya. Banyak anak muda membayangkan enaknya menjadi selebritis. Kemana-mana dikerubuti penggemar. Dengan wajah tampan dan cantik, selain terkenal, uang pun mudah dia dapatkan. Cukup modal tampang cantik atau jelek sekalian; buka suara sebentar,  dan berlenggak-lenggok beberapa saat, sudah bisa masuk TV dan dipuja-puji di sana sini. Sebagian lagi, cukup jual keberanian buka-bukaan, sudah langsung menjadi pujaan.

Lalu, al-Quran memerintahkan kaum mukmin untuk berpuasa, bersusah payah beribadah, pagi, siang dan malam, supaya menjadi orang yang taqwa!  Seruan ini memang khusus bagi orang yang beriman. Orang kafir-materialis-sekularis-liberalis  jelas tidak terkena seruan ini. Sebab, tatapan mata dan pikiran mereka hanya terhenti pada aspek materi dan dunia ini saja. 

Orang mukmin tentu berbeda dalam melihat realitas wujud yang ada. Tatapan mata dan pikirannya menembus batas-batas benda yang kasat mata. Ramadhan dilihatnya bukan sekedar bulan-bulan biasa yang datang silih berganti setiap tahun. Ramadhan  dilihatnya sebagai bulan mulia, dimana pintu-pintu rahmat,  ampunan, dan barokah Allah dibuka seluas-luasnya. Orang mukmin-muttaqin beriman kepada hal yang ghaib, meskipun tidak tertangkap panca indera.

Maka, memang sudah seharusnya, orang mukmin merindukan status taqwa. Sebab, status taqwa adalah posisi yang sangat tinggi dalam kehidupan manusia. Allah sudah memberitahukan kepada kita semua: “Yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang taqwa.” (QS 49:13). Bukan presiden, bukan menteri, bukan gubernur, dan bukan anggota DPR, yang pasti mulia. Tapi,siapa pun, dan apa pun status dan profesinya, -- jika dia bertaqwa – maka pastilah dia menjadi yang termulia di mata Allah SWT.

Menjadi orang yang taqwa memang luarrrr biasa tinggi derajatnya. Dan orang taqwa pastilah orang yang bahagia. Allah SWT sudah memerintahkan kita: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa.” (QS 3:102). “Maka, bertaqwalah kepada Allah semampu kamu.” (QS 64:16). “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar.” (QS 33:70). “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dan memberikan rizki dari arah yang tidak dia perhitungkan.”  (QS 65:2-3).

Itulah beberapa perintah Allah agar kita semua benar-benar berusaha menjadi orang yang taqwa. Dijanjikan kepada kita dan bangsa kita, jika kita bertaqwa, maka kita akan mendapatkan berbagai kucuran barokah dari langit dan bumi. (QS 7:96). 

Maka, jika begitu mulia dan nikmatnya menjadi orang yang taqwa, tentu rugilah kiranya, jika puasa dan ibadah kita tidak mampu mengantarkan kita pada suatu derajat taqwa. Rasulullah saw mengajari kita untuk berdoa, agar kita menjadi orang yang taqwa: “Allahumma inni as-aluka al-huda, wat-tuqa, wal-‘afafa, wal-ghina.” (Ya, Allah aku memohon kepadamu akan petunjuk, ketaqwaan, kesucian dan kemuliaan diri, serta perasaan cukup). (HR Muslim).

Jadi, taqwa adalah suatu kondisi pikiran dan jiwa orang mukmin yang merasakan kehadiran Allah SWT di mana saja dia berada. Dia ridho dengan segala kondisi yang merupakan anugerah Allah. Dia takut untuk bermaksiat kepada Allah. Tapi sekaligus dia juga cinta dan penuh harap – tidak putus asa – dari rahmat Allah. Takwa itu indah. Taqwa itu nikmat. Taqwa itu hebat dan membanggakan. Dan taqwa itu suatu kebahagiaan. Karena itulah, kita diperintahkan untuk berjuang keras mencapai derajat yang mulia tersebut.

Manusia yang bertaqwa pasti manusia yang bahagia. Hidupnya jauh dari perasaan takut, resah,  dan sedih. Tatkala kenikmatan dikucurkan kepadanya, dia bersyukur; dia tidak lupa diri; tidak gembira yang berlebihan. Tatkala musibah melanda, dia sabar; dia yakin, bahwa tidak ada sesuatu pun akan terjadi tanpa izin dan ketentuan Allah SWT. Dia tidak resah dengan nikmat yang diraih oleh saudara-saudara, tetangga, kawan kerja, atau rival politiknya. Dia tidak iri hati dan dengki (hasad), sebab dia yakin, Allah pasti memberikan sesuatu yang baik bagi dirinya. Ia yakin, ia ridho kepada keputusan Allah.     

Manusia akan sampai kepada derajat taqwa jika dirinya dipenuhi kecintaan dan keridhaan kepada Allah SWT. Tentu saja, untuk meraih derajat yang tinggi tersebut, seseorang perlu menempuh jalan terjal dan mendaki yang penuh kesulitan.

Rasulullah saw sudah bersabda: “Ingatlah, sorga itu dikepung oleh segala macam kesukaran atau hal-hal yang tidak disukai (al-makaarih); dan neraka itu dikepung oleh hal-hal yang disukai manusia (al-syahawaat).”  (HR Thabrani, shahih).

Puasa Ramadhan adalah latihan dan kesempatan yang luar biasa untuk mengendalikan hawa nafsu. Rasulullah SAW menggambarkan, seorang mujahid adalah yang berperang melawan hawa nafsunya. (al-Mujahid man jaahada nafsahu, HR Thabrani, shahih). Ketika manusia sudah mampu melepaskan dirinya dari perbudakan hawa nafsu, dan memasrahkan dirinya sebagai hamba Allah, maka saat itulah manusia menjadi merdeka dalam arti sebenarnya. Dia sudah kembali kepada fitrahnya, untuk mengenal Sang Pencita, sebagaimana dulu dia pernah mengikat janji azali dengan Allah; saat Allah bertanya, “Apakah Aku ini Tuhanmu?”, maka manusia menjawab: “Benar Ya Allah, kami menjadi saksi.” (QS 7:172). 

Tentu saja, jalan terjal dan mendaki untuk meraih kemuliaan dengan ketaqwaan itu, mewajibkan manusia untuk bekerja keras. Manusia harus adil.  Di sejumlah universitas, untuk menjadi seorang dokter, ada yang rela mengeluarkan dana sampai milyaran rupiah. Untuk menjadi pegawai negeri, banyak yang rela merogoh kantongnya sampai ratusan juta rupioah. Untuk menjadi seorang bupati atau walikota, puluhan milyar dihabiskan untuk berkampanye. Kabarnya, untuk menjadi seorang Presiden, perlu dukungan sana sampai trilyunan rupiah.

Menjadi orang yang taqwa jauh lebih tinggi darajatnya dari semua kedudukan di dunia. Karena itu, sudah sepatutnya, untuk meraih derajat taqwa, seorang harus berjuang keras, berkorban pikiran, waktu, tenaga, harta, dan sebagainya.  Karena begitu tingginya derajat taqwa, maka itu semua harus diraih dengan ilmu. Ada jalannya. Bukan jalan sembarangan, tetapi jalan yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW, utusan Allah SWT.

Karena itu, baik sekali, bulan Ramadhan – selain sebagai syahrul ibadah -- digunakan juga sebagai bulan ilmu. Sebab, thalabul ilmi (menuntut ilmu) adalah bentuk ibadah yang sangat tinggi dinilainya di mata Allah SWT. ”Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS Al-Mujadilah:11).  Rasulullah saw bersabda:           ”Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan maka Allah menjadikannya faqih (memahami dengan baik) dalam masalah agama (Islam) dan mengilhami petunjuk-Nya.” (Muttafaq alaihi). ”Ulama adalah pewaris para Nabi.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Majah dan Ibn Hibban).

”Manusia itu laksana barang tambang seperti tambang emas dan perak. Orang-orang yang terbaik di masa jahiliyah adalah orang-orang yang terbaik juga di dalam Islam, apabila mereka memahami Islam.” (HR Muttafaq alaihi, dari Abu Hurairah).

Rasulullah saw bersabda: ”Barangsiapa menempuh jalan yang padanya dia menuntut ilmu, maka Allah telah menuntunnya jalan ke surga.” (HR Muslim). ”Sesungguhnya malaikat itu membentangkan sayapnya pada orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang ia lakukan.” (HR Ahmad, Ibn Hibban, dan Hakim).

Mudah-mudahan, kita diberi karunia Allah SWT untuk menjumpai dan menjalani ibadah Ramadhan 1433 H dengan ilmu yang benar untuk mengejar taqwa. Hingga, suatu saat, kita patut berbangga, hanya karena taqwa, bukan untuk menyombongkan diri; tetapi untuk mensyukuri segala nikmat Allah SWT, yang memberikan kesempatan kepada kita untuk menapaki jalan taqwa dalam kehidupan kita.

Author : Dr. Adian Husaini
(Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor)



0 Response to "Ramadhan : Bangga Dengan Taqwa"

Posting Komentar