Dengan Taqwa menuju masyarakat dengan predikat khairo Ummah




Fajar 1 Syawal telah menyingsing di ufuk timur, mengisyaratkan kepada kita akan hadirnya Idul Fitri. Meski diwarnai dengan perbedaan penetapan awal syawwal, namun segenap umat Islam di pelbagai penjuru dunia, secara khusyu’ dan syahdu menlantunkan kalimat agung: takbir, tahlil dan tahmid. Suatu ungkapan penghambaan diri dari para pecinta kemerdekaan hakiki, yang membenci kesyirikan dan kekufuran dan manifestasi rasa syukur kepada Allah yang telah menganugrahi kita nikmat yang sempurna. Pertama, nikmat bertemu dengan bulan Ramadlan yang penuh berkah, dan Kedua, nikmat kekuatan dan kemampuan untuk menjalankan ibadah di dalamnya sebaik-baiknya. Semoga semua amal shaleh di bulan yang mulia ini diterima Allah; dan kita digolongkan sebagai hambaNya yang bertaqwa, dan kelak dimasukkan ke dalam surgaNya. Amin.

Madrasah Ramadlan telah menempa kita agar menjadi muttaqin, karena memang tujuan puasa adalah mengantar kaum beriman menjadi hamba yang bertaqwa.  Madrasah Ramadlan mendidik manusia agar memposisikan ruhaninya  benar-benar sebagai sentral pengendali perilakunya. Jasmani yang dipuasakan, hakekatnya hanyalah sasaran antara puasa, bukan intinya. Meski banyak manusia  yang terjebak, dan lebih menyibukkan diri dengan   aspek simbolisnya.  Padahal salah satu indikator keberhasilan puasa adalah manakala kita telah berkomitmen untuk menjadikan ritual Ramadlan sebagai ritual harian. Bahkan kesalehan pribadi dan sosial seorang mu’min di bulan mulia yang lalu bisa jadi bukan kesalehan nyata manakala pada bulan dzulqaidah dan selanjutnya manusia kembali ke titik awal sebelum puasa. Kesalehan tersebut juga menjadi ironi saat manusia telah melahirkan kebahagiaannya karena telah berpisah dengan bulan Ramadlan, dan menganggap Ramadlan dianggap sebagai beban. Manusia seakan lupa bahwa dirinyalah yang membutuhkan puasa, bukan Allah, agar ciri kebinatangannya kalah oleh kecemerlangan cahaya ruhaninya.

Allah SWT telah menjadikan puasa sebagai media untuk meraih derajat taqwa, karena  Ketaqwaan merupakan satu-satunya kondisi yang bisa menjamin kebahagian manusia di dunia dan di akhirat. Ketaqwaan bertumpu pada keberanian manusia untuk mengendalikan dirinya  secara lahir maupun bathin. Taqwa  merupakan sikap mental mu’min yang tidak hanya anti terhadap sesuatu yang haram dan syubhat, namun  jauh lebih tinggi dari itu, yakni meninggalkan hal-hal yang tidak berguna. Taqwa membentuk pribadi muslim untuk meneladani sifat agung Allah seperti alWadud, yang menyinta, alRahim, yang welas asih, alGhafur yang memaafkan, arRazzaq, yang gemar berbagi, alKhaliq, yang selalu berkreasi, Al’Alim, yang sangat berkompeten, alqawiy, yang selalu berdaya, alLathif, yang selalu ramah, serta sifat-sifat mulia yang lain. Taqwa membentuk insan mu’min yang kamil. Suatu profil insan ideal sebagaimana isyarat Rasul yang Mulia:
”Sebaik-baik orang adalah orang yang paling memberi manfaat bagi orang lain”.

Ringkasnya ketaqwaan yang mampu menjamin pemiliknya menjadi pribadi   mempesona. Karena seorang mu’min, atau ahli ibadah atau bahkan yang syahid di medan laga belum menjamin ketaqwaannya. Ketaqwaan jauh lebih dalam dan menyeluruh dari itu. Motif puasa mengarahkan manusia agar menjadikan puasa sebagai perisai   dari perbuatan tercela seperti iri, dengki, dusta, sombong, ghibah, adu domba, serakah, kikir, kagum diri, pamrih, boros, mencela, khianat, pengecut, kufur nikmat, dan berbagai sifat buruk lainnya. Manusia yang gagal menghindar dari   perbuatan nista tersebut mustahil meraih kedudukan yang mulia, dan akan dirundung berbagai penyakit hati yang akan sangat menyengsarakan dirinya dan orang lain.

Puasa mengajarkan apa yang dalam dunia psikiatrik disebut sebagai delaying gratification (penundaan kesenangan) yang menurut hasil studi ilmuwan barat terbukti mampu membentuk mekanisme pengendalian emosi yang baik. Menurut mereka orang yang tidak mampu berpuasa akan mengalami ketidakseimbangan diri akibat id sebagai dorongan mencari kesenangan tidak bisa diatasi oleh ego atau realitas dan super ego atau moralitas. Orang yang demikian bisa mengalami gangguan pengendalian diri yang akut. Barangkali karena hal semacam inilah mengapa puasa disebut sebagai metode tazkiyatun nafs (pensucian diri) dan tarbiyatul iradah (pendidikan kehendak).

Rutinitas puasa yang membatasi asupan kalori terbukti meningkatkan kinerja otak. Menurut penelitian puasa bisa membantu membentuk struktur syaraf, sekaligus merelaksasi syaraf. Bentuk latihan mental yang mengusung nilai-nilai kebajikan akan mengakibatkan munculnya struktur syaraf baru, bila dilatih secara konsisten selama minimal 21 hari. Sungguh suatu keajaiban, saat saluran pencernaan mengalami relaksasi dan beristirahat selama 14 jam akan mereproduksi sel dan hormon baru,   pada saat yang sama otak akan merekam semua amal shaleh yang mengiringinya untuk membenahi struktur otak kita.

Inilah juga rahasianya mengapa orang  dalam kondisi mental yang tenang bisa lebih kreatif, produktif, efektif dalam berpikir dan berkarya. Konon Albert Eistein sangat rajin berpuasa, sehingga dia memiliki neoroglial cell atau pembersih sel otak 73% lebih banyak dibanding orang biasa. Rasulullah, para sahabat, tabi’in, tabi’it tabiin dan generasi Islam di zaman keemasan adalah manusia-manusia unggul yang telah memproduksi karya maha besar tidak kurang dari 9 abad untuk membentuk peradaban cemerlang. Mereka adalah generasi yang menghiasi diri dengan puasa seumur hidup mereka sehingga mampu membangun  peradaban fenomenal yang tak akan pernah terulang dalam sejarah.

Itulah generasi yang disebut sebagai generasi khairo ummah. Allah menyatakan:  “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
Menurut Imam Qurthubi dan   Ibnu Katsir, predikat tersebut sama dengan predikat “ummatan wasathan” yang Allah sebut dalam firman-Nya:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah 143)

Allah telah menjadikan generasi khairo ummah sebagai insan paling adil dalam perkataan, perbuatan, serta keinginan, karena itu mereka berhak   menjadi saksi atas sekalian manusia.  Allah mengangkat derajat dan memuji mereka. Generasi yang berbaju taqwa, sehingga mereka secara spiritual, moral, psikis dan sosial tak terbandingkan. Generasi yang setia mengusung panji-panji kebenaran dan kritis terhadap ketidakadilan. Mereka bukanlah generasi beringas yang selalu menyerang pihak lain dan merasa diri paling benar. Suatu profil segmen masyarakat yang memedomani petuah junjungan Nabi:
”Mudahkan, jangan  persulit, dan beri gambar gembira,  jangan membuat lari”.  Mereka ummat yang berada pada titik moderasi, sesuai pernyataan Rasulullah  ”Khairul umur ausathiha”. ”Sebaik-baik  urusan  adalah pertengahannya”.

Keberadaan dalam posisi tengah  menyebabkan  mereka tidak  hanyut oleh materialisme, tidak pula mengantarnya membumbung tinggi ke alam ruhani, sehingga  tidak lagi  berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani,  material   dan  spiritual. Posisi ini tidak bisa diraih dengan pengakuan semata, kecuali jika mereka telah memiliki kelayakan untuk menerimanya.

Konsekwensi pertama dari posisi ini adalah dengan aktif  mendorong manusia agar selalu di atas kebajikan, disertai iman yang dapat mendefinisikan mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Rasulullah saw menyatakan:
 “Manusia yang terbaik adalah manusia yang paling banyak membaca, paling bertaqwa kepada Allah SWT, paling giat melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan paling suka bersilaturrahmi.”

Demikianlah generasi khoiro ummah yang dengan ilmunya takut kepada Allah  sehingga berhati-hati dan penuh perhitungan dalam sikap dan perilaku. Generasi yang tegas namun santun, cerdas namun rendah hati, korektif dan self corrective, yang menjalin  silaturrahmi  secara inklusif. Generasi alumnus Ramadlan.
Mari kita cermati ayat dalam surat aththalaq  2 dan 3 yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud sebagai ayat yang terbesar dalam memberi janji solusi kepada kaum mu’minin  
”Siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan solusi, dan memberinya rizqi dari jalan yang tak diperkirakan”.

Selanjutnya manakala sebagian besar penduduk suatu negeri mempraktikkan iman dan  taqwa   maka Allah akan melapangkan ke jalan kejayaan karena barakah akan selalu meliputi mereka dan dijauhkan dari adzab, sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam surat al-a’raf 96: Posisi demikian hanya akan diperoleh saat negeri tersebut dipimpin manusia yang berkarakter khiro ummah yang melandasi hidupnya dengan taqwa.   

Author : Yasir Abdurrahman

0 Response to "Dengan Taqwa menuju masyarakat dengan predikat khairo Ummah"

Posting Komentar