Korupsi : Wajah Buruk Manusia Modern






Korupsi  berasal dari kata corruptus, yang berarti sesuatu yang rusak atau hancur. Dalam bahasa Inggris, corruption bisa berkonotasi kerusakan fisik maupun perilaku manusia. Bahkan korupsi bisa berarti ketidakbersihan atau ketidakjujuran.   Korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab, sehingga di dalamnya terkandung unsur kecurangan (ketidakjujuran), kerahasiaan, dan pengkhianatan, yang merugikan kepentingan publik.

Korupsi memang bukan makhluk jelmaan  baru. Dia sudah ada bersamaan dengan lahirnya peradaban manusia.  Namun penyakit sosial ini sekarang sedang menjadi  salah satu trending topics dalam berbagai media massa, media sosial, hingga  obrolan warung kopi. Semua orang asyik membahasnya, tak terkecuali masyarakat lapisan yang paling bawah sekali pun. Semua seakan membenci, dan berramai-ramai mengutuk para penikmat harta “panas” ini.

Meski demikian, ada baiknya kita perlu untuk lebih jeli dan teliti lagi dalam membaca fenomena immoralitas ini. Benarkah pelaku korupsi hanyalah mereka yang menjarah harta negara dengan kadar curian yang berbeda-beda, bergantung kepada peluang, ketrampilan, jaringan kemitraan, “keberuntungan” dan kadar buruknya manajemen institusi? Mengacu kepada definisi di atas sangat pantas apabila kita berani menengarai bahwa banyak diantara para pengecam tindakan korupsi sebenarnya juga   “aktivis” korupsi, dengan jenis, modus, area dan skala yang berbeda.

Mari kita elaborasi sebagian perilaku koruptif di sekitar kita. Ada pegawai yang digaji untuk  melayani masyarakat, namun disela-sela pekerjaannya mengambil kesempatan untuk kepentingan pribadi, tanpa seijin atasannya. Ada juga pegawai yang memanfaatkan fasilitas tempatnya bekerja untuk keuntungan pribadi. Tidak sedikit juga petugas layanan publik yang menjadikan layanan instansinya sebagai komoditi  pribadi maupun kolektif, dengan  tarif spesial. Yang tidak bersedia membayar plus, harus rela menerima layanan yang ribet  dan menyebalkan. Bisa jadi hanyalah sekadar menerima komisi illegal (ghulul).

Dalam dunia tender, unsur panitia ada yang sanggup mengatur lelang agar memenangkan  pengusaha tertentu yang sanggup “meng-entertain” segelintir pejabat.   Pada kasus pemilu, saat acara akan dilangsungkan, banyak  masyarakat banyak  yang sudi menerima imbalan haram ketika terjadi “serangan fajar”, sehingga dirinya memilih calon pemimpin yang sebenarnya bukan pilihan sejatinya. Di Kampung,  pengurus RT  tidak sedikit yang atas nama keadilan sanggup merekayasa data agar semua (atau sebagian besar) warganya menerima raskin atau pembagian kompor & tabung gas gratis atau dana kompensasi BLT. Anehnya, warga yang tidak berhak, senang menerimanya dan tidak merasa terhina.

Daftar ragam tindak korupsi di atas sepertinya tidak susah untuk diperpanjang.  Sebagai mukmin sejati,  mestinya kita layak cemas. Jangan-jangan kita, atau orang-orang terdekat kita, hanya berbeda skala saja dengan orang-orang yang digelandang petugas tahanan sambil menebar senyum, atau  bertakbir dan bertahmid karena ternyata hukumannya diperringan, atau sebagian harta jarahannya masih bisa dinikmati.

Pertanyaan yang layak untuk diketengahkan kemudian ialah, apakah kita benar-benar sepenuh hati membenci tindakan korupsi, alias tidak berperilaku mendua? Mestinya semua manusia muslim yang beriman membenci korupsi sebagaimana Allah SWT membenci perilaku kufur (pembangkangan pada aspek keimanan,  fusuq  (pembangkangan lewat dosa besar) dan ‘ishyan (pembangkangan lewat dosa yang lebih kecil) (QS 49:7). Ketiga sifat itu adalah musuh besar keimanan, yang ditorehkan pada hati kaum mukminin sebagai hiasan diri. Allah telah memustahilkan penyatuan kebusukan dengan kebaikan. Itulah mengapa orang yang beriman dikatakan kehilangan keimanannya saat dia mencuri, karena keimanan tidak akan “sudi” bersatu dengan kejahatan.

Jika setiap pengecam korupsi konsekuen dengan pernyataan dan sikapnya, sungguh tidak sulit membendung tindak kejahatan yang namanya korupsi. Jika semua keluarga tidak sudi mengkonsumsi barang haram dalam diri mereka, niscaya para koruptor akan segera bertobat menyesali diri, dan lebih memilih hidup tenteram ber-qanaah bersama keluarga. Jika semua pemangku kepentingan, khususnya yang berada di sektor hukum membenci tindakan korupsi, pasti semua akan mendukung penimpaan hukuman yang sangat berat kepada  koruptor sehingga sedikit sekali orang yang   nekad mempertaruhkan jiwa-raganya untuk hukuman yang sangat menyakitkan dan memalukan. Menurut Syed Alatas, sebagaimana dikutip Pak Zairin, mereka hanya berpura-pura menentang korupsi.

Korupsi sebenarnya hanya gejala atau akibat dari hilangnya rasa malu, yang berakibat pada hilangnya keimanan kepada Allah SWT. Padahal malu adalah pilar aqidah dan akhlak seorang muslim. “Kalau rasa malu telah sirna, kerjakan apa saja yang engkau mau”, begitu wejangan Rasul mulia SAW. Fakta hari ini”  Tengok layar kaca! Setiap hari para politisi bersilat lidah mencari simpati rakyat dan membersihkan diri tanpa sedikitpun rasa malu. Seakan semua pelaku kebusukan adalah orang-orang dari partai lain, dan dirinya dan partainya semuanya berjuang untuk rakyat.

Bertahun-tahun Allah SWT menyembunyikan aibnya, namun alih-alih memperbaiki diri, hingga Allah pun membuka aib sebagian mereka. Daftar punggawa partai dan pejabat yang digelandang petugas terus bertambah saja. Bukan mustahil yang belum tertangkap jauh lebih banyak. Marwah  diri dan keluarga telah keluar dari kamus hidupnya. Di tengah carut marutnya politik negeri, sungguh rakyat belajar dan meniru keburukan  para pemimpinnya. Meski korupsi menimpa semua bangsa di dunia, namun korupsi di Indonesia sepertinya memang luar biasa.

Hadits Nabi SAW yang mensyaratkan kecakapan dan kejujuran sekaligus saat penunjukan pemimpin, dan  pengabaian hal ini akan menyebabkan kehancuran (baca:korupsi). Perhatian masyarakat pada kedua hal ini terlalu timpang. Kepandaian dan kecakapan diasah, sementara penanaman akhlak dan keteladanan lewat tarbiyyah dikesampingkan.  

Pendapat di atas sejalan dengan fakta empiris di kalangan masyarakat Jepang, yang mementingkan nilai-nilai adiluhung kejujuran yang tertancap kokoh dalam budaya mereka, sehingga hanya memberi terlalu kecil ruang toleransi atas segala tindak lancung. Sementara itu, banyaknya pelaku korupsi mengindikasikan rendahnya keimanan kepada hari akhir, yang disebabkan mereka menderita penyakit hati “rabun jauh”. Hidup seakan hanya hari ini, dan hanya untuk mereka sekeluarga saja. Alhasil, sebagai ummat Nabi Muhammad SAW, maka tugas kita sekarang adalah membuktikan ucapan: isyahadu bianna muslimun (saksikan, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah!). Wallahu a’lam.

Author : Yasir Abdul Rahman

0 Response to "Korupsi : Wajah Buruk Manusia Modern"

Posting Komentar