Ketika Anak Manis Menjadi Sadis, STOP Perilaku Agresif Anak




Anak-anak selalu identik dengan senyuman mereka yang ceria dan dunia bermainnya yang menyenangkan. Keluguan dan kepolosan   pada diri seorang anak memberikan kesan dan warna tersendiri bagi dunia mereka.  Inilah dunia yang bebas dari beban apa pun.

Namun, saat memasuki usia sekolah dasar, seorang anak memiliki beberapa tugas yang harus diselesaikan. Tidak hanya tugas akademik yang menuntut kemampuan intelektual mereka, namun pada waktu yang sama seorang anak juga dituntut untuk mengasah kemampuan sosial-emosional yang mereka miliki. Sebagai makhluk sosial, seorang anak harus mampu berinteraksi dan menjalin hubungan pertemanan.

Seperti diketahui, bermain merupakan bagian dari dunia anak. Pada umumnya, seorang anak tidak akan melewatkan hal tersebut dalam hidupnya. Bermain adalah bagian yang tak terpisahkan dari mereka. Dalam sebuah permainan, seorang anak tidak hanya melakukan aktivitas yang menyenangkan hati, namun bermain memiliki makna yang mendalam terkait dengan perannya sebagai makhluk sosial.

John W. Santrock (Santrock, 1995) menjelaskan bahwa bagi banyak anak, memasuki kelas satu menandai peralihan dari “anak rumah” menjadi “anak sekolah”; suatu situasi yang membawa peran dan kewajiban baru. Anak-anak mengemban peran baru sebagai pelajar, berinteraksi, menjalin hubungan baru, mengadopsi kelompok acuan baru, dan mengembangkan standar baru untuk menilai diri sendiri. Sekolah memberi anak-anak sumber ide baru yang kaya untuk membentuk perasaan diri mereka.

Bermain dapat melatih seorang anak menjadi makhluk yang memiliki keterampilan sosial, sebab mereka belajar untuk bersosialisasi bersama teman sebayanya. Mereka berbagi kisah, keluguan dan kepolosan yang membuat mereka tampak menjadi anak yang manis.

Namun kenyataannya, tidak semua anak mampu memainkan perannya sebagai makhluk sosial, sehingga berpengaruh pada kondisi emosional mereka. Apabila dibiarkan,   anak yang manis bisa berubah menjadi  agresif dan sadis.

Sebenarnya, apa itu “Agresif?”

Menurut Kartono (1995), perilaku agresif adalah perilaku yang dilakukan seseorang dapat berbentuk kemarahan yang meluap-luap, tindakan yang sewenang-wenang, penyergapan, kecaman, wujud perbuatan yang dapat menimbulkan penderitaan dan kesakitan, termasuk perusakan dan tirani pada orang lain.

Baru-baru ini, sebuah kejadian tragis kembali terjadi   di sebuah sekolah dasar di wilayah Tangerang pada September 2015. Seorang siswa kelas 2 sekolah dasar memukuli teman sebayanya hingga tewas. Peristiwa tersebut sangat mengejutkan dan sulit untuk dipercaya. Terlebih, baik pelaku maupun korban masih sama-sama berusia 8 tahun, dan peristiwa tersebut terjadi di lingkungan sekolah saat jam aktif belajar.

Bagaimana bisa terjadi? Apa yang ada di pikiran seorang anak hingga dia tega menyakiti teman sebayanya hingga menghilangkan nyawa? Kelalaian pihak sekolahkah, atau ketidakberdayaan orang tua dalam mendidik anak?

Tentu tindakan saling menyalahkan satu sama lain   bukan solusi atas kasus ini. Apalagi  baik sekolah maupun orang tua sebenarnya memiliki tanggung jawab yang sama dalam mendidik anak-anak kita. Ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Aris Merdeka Sirait  menjelaskan bahwa sekolah dan rumah, dua lingkungan yang sangat erat dengan anak-anak,    semestinya menjadi zona aman atau basis anti kekerasan bagi anak-anak. Dengan demikian, orang dewasa sangat bertanggungjawab terhadap perilaku agresif anak.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Psikolog Novita Tandry  mengemukakan bahwa   perilaku agresif yang dilakukan seorang anak sangat dipengaruhi oleh orangtua. Sifat agresif   diturunkan   melalui perilaku orangtua yang dicontoh, maupun sikap orang tua yang terlalu keras  yang membuat anak bungkam ketika  di rumah, namun agresif di lingkungan luar, termasuk sekolah.  

Novita menambahkan, bahwa sekolah juga memiliki peran yang sama besar. Sekolah   semestinya mengawasi perilaku anak serta menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua terkait dengan perkembangan perilaku anak. Jika hal tersebut berjalan   baik,   perilaku agresif anak   dapat diminimalisasi.

Perilaku agresif yang menghantui dunia anak memang sudah menjadi sebuah permasalahan global. Menurut Riana Mashar (2011), berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan,   ditemukan hasil bahwa generasi sekarang lebih banyak mengalami kesulitan emosi dan sosial daripada generasi sebelumnya. Generasi sekarang cenderung lebih kesepian, pemurung, mudah cemas, gugup, impulsif, dan agresif.

Lalu apa yang harus kita lakukan ketika anak manis berubah menjadi sadis?

Tidak Memberi Label Negatif

Pelabelan negatif kepada anak harus dihindari, karena anak bagaikan kertas putih sehingga apapun yang digoreskan  di atasnya akan memberikan bekas. Memberikan label negatif pada anak, selain membuat anak menjadi yakin bahwa ia seperti yang dilabelkan, juga tidak memberi jalan keluar bagaimana mengubah perilaku yang tidak diharapkan. Selain itu anak berpotensi menjadi rendah diri (minder), kadang menyimpan dendam, sehingga  tanpa disadari anak justru “mempertahankan” perilaku negatif tadi.

Mengeluarkan  dari Sekolah, apakah Sebuah Solusi?

Aturan   sekolah merupakan komponen penting yang mendukung terciptanya suasana belajar yang  kondusif. Siapa yang melanggar   tata tertib, maka dia layak mendapatkan sanksi. Namun, mengeluarkan   siswa berperilaku agresif  dari sekolah, menurut Ketua KPAI bukanlah hal yang bijak.  Siswa berperilaku agresif harus tetap sekolah dan mendapat pendampingan khusus. Mengeluarkan siswa dari sekolah   tidak akan membantu memperbaiki perilaku mereka.   Bisa jadi mereka akan lebih agresif  ketika di luar sekolah.  

Mengajarkan Ketrampilan Sosial dan Emosional pada Anak

Sudah semestinya, semua elemen, baik itu sekolah maupun rumah  mampu bekerjasama untuk terus mendampingi anak agar memiliki keterampilan sosial dan emosi yang baik. hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menjadi figur yang memberikan contoh baik, sikap empati, peduli, kasih sayang dan santun dalam kehidupan anak. Sebab, kehadiran figur yang baik dapat menjadi peredam agresivitas anak.

Referensi

  1. Santrock W John. 1995. Life Span Development, Jakarta: PT Erlangga, 1995.
  2. Kartono, K., ”Psikologi anak: Psikologi perkembangan”, Bandung, Mandar Maju, 1995.
  3. Riana Mashar, Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Penangannya, Jakarta, Kencana, 2011

Author : Maesaroh, S.Sos.I
Adalah Staf Pengajar Butterfly Learning Centre (BLC)
Yayasan  Sosial Al-Irsyad  Cilacap

0 Response to "Ketika Anak Manis Menjadi Sadis, STOP Perilaku Agresif Anak"

Posting Komentar