Normalnya semua
orang tua menghendaki kesejahteraan buat anak dan menghindarkan mereka dari
segala ketidaknyamanan. Seandainya setiap orang tua atau guru ditanya apakah biasa
melakukan kekerasan terhadap anak, sudah bisa ditebak apa jawabannya, ”tidak!”.
Kalau ditanya kenapa membentak atau mencubit, mereka akan menjawab, ”anaknya
bandel dan sulit di atur. Kalau hanya dinasihati sudah sering, dan tidak pernah
mempan. Jadi musti dibentak dan
dicubit biar kapok. Ini mendidik, bukan nyakitin!”
Ilustrasi di atas
melukiskan berragamnya persepsi makna
kekerasan di masyarakat. Psikolog menyebut kekerasan sebagai segala macam
bentuk ucapan dan tindakan yang menyebabkan anak merasa cemas, takut, rendah
diri, dan trauma, baik secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran. Bisa jadi tidak banyak yang
berkeberatan dengan definisi kekerasan itu. Namun saat diungkap praktik-praktik
”kekerasan” dalam rumahnya, seseorang akan mengelak dengan subyektifitasnya.
Kekerasan merupakan produk budaya yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagai output budaya, kekerasan
memiliki commonality (kesamaan) dalam masyarakat, meski kadar toleransi
terhadap kekerasan bisa sangat berbeda antara orang atau keluarga satu dengan yang lain. Secara historis dan
sosiologis kekerasan dipelajari, ditiru dan ”dikembangkan”. Wajar bila secara
empiris, intensitas dan kualitas kekerasan dalam masyarakat kemudian berefek
domino. Setiap kekerasan menghasilkan kekerasan yang baru.
Kekerasan dalam
skala makro yang sedang gencar diatasi namun justru semakin merebak bernama
korupsi. Kejahatan itu berakar pada penyalahgunaan kekuasaan untuk mengambil
keuntungan dari kekayaan negara secara manipulatif, alias mengambil hak rakyat secara
tidak sah. Puluhan juta rakyat menanggung kesengsaraan. Bantuan untuk penanggulangan bencana maupun kaum papa
lenyap, tak sampai ke alamat. Korupsi terjadi di semua
lapisan kekuasaan, hingga strata yang terrendah. Parpol
berkonspirasi membentuk kartel kekuasaan untuk mengatur keputusan strategis dan
mengamankan praktik korupsi tokoh-tokohnya. Pendidikan dikomersialisasikan dengan
dalih mengurangi beban negara.
Pemberitaan kekerasan besar-besaran menjadi sebuah
”kekerasan” tersendiri dengan mempengaruhi
psikis penontonnya.Pemberitaan kasus vandalistik, sadistik, hooliganistik dan
kriminalistik lainnya mengalami
akselerasi sampai pada tingkat yang
terbayangkan sebelumnya. Bahkan sejak euforia reformasi merambah ke semua kelas
sosial, media mengambil peluang dengan
mengemas acara talk-show dan berita khusus kriminal yang ternyata
digemari. Akibatnya kadar toleransi
masyarakat terhadap kebrutalan semakin tinggi, karena semuanya telah menjadi
barang biasa. Jenis kebiadaban baru yang tidak dikenal atau terlampau jarang
didengar di masa lampau, bermunculan. Ironisnya hal itu dilakukan oleh semua
lapisan usia dan gender, bahkan oleh keluarga terdekat! Jadi, berita anak
membunuh ibu, atau ibu membunuh anak tidak lagi luar biasa buat masyarakat.
Rangkaian artikel yang tersaji dalam edisi ini patut menjadi renungan bagi
kita. Kekerasan ternyata ada di sekeliling, banyak ragamnya, dan sebagian besar kurang
dirasakan masyarakat karena saking ”halus”nya. Ungkapan yang bernada mengecam,
menyindir, meleceh, melabel, menuduh, menghardik, menyudut, membohong, dan sebagainya bahkan sebenarnya telah
memenuhi kriteria kekerasan. Sayangnya banyak orang tua telah terbiasa mempraktikkannya. Lama kelamaan
mengendap
dalam diri anak, mengalami penguatan, dan melahirkan perilaku asosial yang
merugikan.
Rasanya tanpa penelitianpun, sebagian masyarakat diyakini setuju
bahwa mayoritas pelaku kekerasan adalah korban kekerasan atau orang-orang yang
telah terindoktrinasi dengan kekerasan. Seorang kakak yang ringan tangan kepada
adiknya hampir bisa dipastikan bahwa dirinyapun telah merasakan kekerasan dari sekelilingnya atau menyaksikannya. Boleh jadi bukan
dengan maksud menyakiti saat melakukannya,
kecuali hanya sekadar mencoba meniru.
Mari kita hentikan kekerasan dengan memahaminya dan mencegah segala jenis
kekerasan dari sekitar anak. Perubahan cara berkomunikasi akan memegang peran
kunci, karena kualitas komunikasi yang kurang baik merupakan kekerasan dan
menyulut respons kekerasan lebih lanjut. Allah mengajarkan berkata lembut dan
Rasulullah menawarkan surga bagi yang sanggup meredam rasa marah. Apa yang
lebih indah dari itu?
0 Response to "Understanding and Avoiding Violence"
Posting Komentar