Let's be Honest





Di tanah melayu, hiduplah seorang tetua adat yang telah tua usianya. Sayang, ia tidak memiliki satu orangpun anak laki-laki untuk ditunjuk menjadi penggantinya. Ia hanya memiliki satu anak perempuan yang sudah gadis. Ia ingin mencari pengganti posisinya sebagai tetua adat sekaligus sebagai pendamping putrinya.

Pada hari yang telah ditentukan, ia mengumpulkan warga nagarinya di balai nagari kemudian ia berpidato dalam bahasa melayu.

“Hari ni, telah senja usiaku. Tiba waktunya untuk aku memilih pengganti juga untuk aku kawinkan dengan anak perempuanku. Bagi kalian yang ingin, datanglah besok hari ke balai nagari. Aku telah siapkan sayembara”

Keesokan harinya, balai nagari penuh sesak. Meraka datang ada yang karena ingin mengikuti sayembara, namuan ada juga yang hanya penasaran dengan rencana tetua adat mereka. Saat tetua adat datang, semua senyap. Kemudian ia berkata:

“Aku telah siapkan suatu biji tanaman. Aku minta kalian yang ingin ikut sayembara ini mengambil sebiji, kemudian menanamnya. Kemudian bawalah tanaman kalian kemari tepat satu tahun dari sekarang. Hanya yang membawa tanaman terbaik yang akan aku pilih.”

Maka, setelah mendapatkan biji yang menjadi alat sayembara, pulanglah para peserta ke rumahnya masing-masing. Di antara para peserta itu, terdapat seorang pemuda yatim yang begitu antusias mengikutinya, Halim nama pemuda itu.

Hari berlalu minggupun berganti.
Tiga bulan berlalu. Para pemuda di nagarinya mulai bercerita tentang biji mereka yang sudah tumbuh dan bercabang. Namun, biji yang ditanam Halim belum juga tumbuh.

Minggu berganti bulanpun bertukar.
Sembilan bulan berlalu. Para pemuda di nagarinya semakin antusias bercerita tentang tanaman mereka yang telah semakin besar dan mulai berbunga bahkan ada yang sudah mulai berbuah. Sementara Halim, hanya bisa diam karena potnya tidak ditumbuhi apapun.

Tepat setahun waktu sayembara berlalu. Tibalah saatnya untuk membawa tanaman itu ke balai nagari. Hari itu, semua peserta bergegas membawa tanaman yang akan mereka tunjukan kepada tetua adat di balai nagari, kecuali Halim. Karena ia tahu hanya bijinya yang tidak tumbuh. Namun ibunya mendorong untuk tetap berangkat ke balai nagari apa adanya. Halimpun berangkat. Tentu saja, ejekan dan cemooohan menyambut ia dan pot kosongnya saat sampai di balai nagari. Karena malu, halim hanya berdiri di sudut halaman bersama pot kosongnya itu.

“Terima kasih kepada kalian yang sudah mengikuti sayembara yang telah aku buat.” Tetua adat membuka pidatonya. Kemudian ia melanjutkan:

“Tanaman kalian sungguh indah dan bagus, tentu telah dirawat dengan baik. Dan, tiba saatnya aku memilih penggantiku sebagai tetua adat juga sebagai suami anak perempuanku.”

Semua yang hadir di balai nagari terdiam, menunggu keputusan dari tetua adat mereka.
“Hai kau, yang berdiri di sudut halaman. Kemarilah.” Telunjuk sang tetua adat mengarah lurus kepada Halim. Halim terkesiap. Suasana langsung riuh dengan ekspresi keheranan. Dengan rasa malu dan takut ia maju ke hadapan tetua adat.

“Inilah tetua adat kalian yang baru dan calon suami dari anak perempuanku.” Putus sang tetua adat.
“Ketahuilah, biji yang aku bagikan telah aku masak sebelumnya. Maka tidak mungkin ia akan tumbuh. Tapi kalian menggantinya dengan biji yang lain. Hanya pemuda ini yang jujur dengan sayembara yang telah aku buat dan berani menunjukkan apa adanya. Karena itulah, kupilih dia.”

          Jujur dan Berani, dua kata berharga yang semakin hilang ditelan zaman. Kejujuran tanpa keberanian hanya akan memunculkan jiwa-jiwa penakut dan mencari aman untuk dirinya sendiri. Sebaliknya keberanian tanpa kejujuran akan melahirkan jiwa-jiwa korup dan menghalalkan segala cara. Jadi, Kejujuran tanpa keberanian tak berarti apa-apa. Sebaliknya, keberanian tanpa kejujuran, sangat berbahaya. Namun, ketika hidup kita tidak memiliki kejujuran juga keberanian, lebih baik berhenti saja hidup. Kita mau pilih yang mana?

Created by : Slamet Wahyudin
Image by : google

0 Response to "Let's be Honest"

Posting Komentar