Berbicara
tentang makna hidup secara otomatis melahirkan tiga pertanyaan mendasar yang
jawabannya juga mendasar namun sering tidak terekam dengan baik dalam benak
kebanyakan manusia. Ketiga pertanyaan tersebut: dari mana kita manusia berasal,
untuk apa kita hidup, dan ke mana langkah hidup kita. Anda tidak perlu
mengernyitkan dahi untuk menjawabnya, karena jawaban tersebut telah tertulis di
benak Anda. Namun manusia memang pelupa. Dalam perjalanan hidup yang dilaluinya,
jawaban dari ketiga pertanyaan tadi tidak jarang menguap seolah-olah tiada
berbekas. Indikasinya adalah tingkah polah dan sepak terjang manusia
sering
tidak mencerminkan bahwa diri kita memahami dan meresapi.
Hidup
bukan sekedar hidup yang tanpa arti dan tujuan. Ada dua sisi alasan yang
mendasari kesimpulan di atas. Pertama: Allah sebagai pencipta kehidupan,
mencakup pelakunya, dalam hal ini seluruh makhluk, wabil khusus manusia,
memiliki nama al-Hakim (Maha bijaksana) yang darinya sekaligus diambil
salah satu dari sifatNya, yaitu al-hikmah (kebijaksanaan). Bila hidup
hanya sekedar hidup, tanpa arah dan tujuan maka hal itu tidak selaras dengan
nama dan sifat Allah al-Hakim dan
al-hikmah. Sisi ini diisyaratkan oleh firman Allah, “Apakah manusia
mengira bahwa dia akan dibiarkan begitu saja?” (Al-Qiyamah: 36) dan firman
Allah, “Apakah kalian mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian
hanya untuk main-main saja dan bahwa kalian tidak dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mukminun:
115).
Bentuk
kalimat pada kedua ayat di atas adalah istifham ingkari, pertanyaan yang
menyimpan makna pengingkaran. Jadi maksudnya adalah bila manusia mengira bahwa
kehidupan itu hanyalah sekedar main-main, tanpa makna dan tujuan,
maka perkiraan tersebut patut untuk diingkari, karena ia merupakan sebuah
kesalahan besar.
Kedua:
Manusia sebagai pelaku utama kehidupan diberi sebuah keistimewaan, yaitu akal
yang dengannya dia berpikir dan dengannya pula dia membedakan diri dari
penghuni bumi lainnya. Adanya akal manusia sendiri menunjukkan bahwa kehidupan
manusia bukan asal hidup, akan tetapi kehidupan yang bermakna. Bila tidak, maka
apa yang kemudian membedakan manusia dengan hewan dan makhluk Allah lainnya
selain malaikat dan jin? Sisi ini diisyaratkan oleh firman Allah, “Dan
orang-orang kafir itu bersenang-senang di dunia ini, mereka makan seperti
makannya binatang-binatang.” (Muhammad:12). Kehidupan orang-orang kafir
hanyalah untuk bersenang-senang, karena mereka tidak meyakini sebuah makna hakiki
dan sejati dari kehidupan. Karenanya ayat di atas tidak membedakan mereka
dengan binatang. Kalau sudah begini, lha apa artinya kita sebagai
manusia, makhluk mukarram (yang dimuliakan) oleh Sang Pencipta? Bukankah
ini sebuah degradasi?
Pertanyaan
selanjutnya, apa makna hidup Anda?
Sepertinya penulis melihat tidak semua pembaca bisa langsung memberikan jawaban
dari pertanyaan ini. Sebagian ada yang diam, entah mikir atau pura-pura mikir
atau memang tidak tahu. Sebagian lagi berusaha menghadirkan jawaban, tetapi
apakah jawaban yang benar adalah seperti jawaban Anda?
Kata
orang, kepala boleh sama hitam, namun isinya tidak selamanya sama. Setuju, tetapi bila isinya juga sama tetap tidak dilarang
kan? Apa
pun jawaban yang Anda berikan atas pertanyaan: apa makna hidup Anda, penulis
berharap jawaban-jawaban tersebut termasuk ke dalam perbedaan redaksional yang
apabila digathuk-gathukkan akan mengerucut kepada satu titik kesimpulan
dan tercakup ke dalam jawaban yang cerdas, sehingga makna hidup Anda memang
benar-benar cerdas.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia menjelaskan makna “cerdas” sebagai: sempurna
perkembangan akal budinya untuk berpikir, mengerti dan sebagainya, tajam
pikiran…” Ini berarti bahwa cerdas adalah akal, dan kecerdasan adalah
kesempurnaan dan ketajaman akal pikiran. Apakah hal ini berarti bahwa yang bisa
memaknai hidup dengan cerdas hanyalah orang-orang yang diberi kesempurnaan dan
ketajaman berpikir? Apakah makna hidup yang cerdas hanyalah monopoli
orang-orang yang pikirnya sempurna dan tajam? Bila demikian lalu bagaimana
dengan nasibku yang hanya memiliki pikiran yang pas-pasan dan tidak pula tajam?
Nanti dulu, jangan terburu-buru menyimpulkan demikian.
Memang
sepatutnya orang yang pikirnya sempurna dan tajam bisa memaknai hidupnya dengan
cerdas, tetapi sesuatu yang ‘sepatutnya’ tidak selamanya terpraktikkan di
lapangan kehidupan. Tidak sedikit orang yang diberi ketajaman pikiran ternyata
tidak mampu memaknai hidup dengan cerdas. Itu artinya untuk bisa memaknai hidup
dengan cerdas tidak mengharuskan seseorang menjadi seperti Pak Habibi. Lha
siapa yang bisa? Ini satu hal.
Kedua,
Cerdas adalah akal, dan akal berasal dari bahasa Arab yang salah satu artinya
adalah tali kekang binatang. Akal disebut tali kekang, karena tali kekang mengendalikan
hewan agar tidak bertindak semaunya sendiri. Secara sederhana, bukankah makna
yang terkandung dalam tali kekang terhadap binatang juga terkandung dalam akal
Anda terhadap diri Anda? Bila tali kekang mengendalikan binatang maka akal
mengendalikan manusia sebagai pemiliknya. Jadi semua orang dengan berbagai
tingkat pikirannya hanya bisa memaknai hidup dengan cerdas selama dia memiliki
akal dan memainkannya dengan benar. Cukup sederhana bukan?
Mungkin
ada yang berkata: “Ah.. itu sih
teori“! Memang benar, itu teori. Tapi bagaimana aplikasinya? Sudahkah Anda
memainkan akal sesuai dengan fungsinya sebagai pengendali tindak-tanduk Anda
dalam hidup ini sehingga hidup Andapun bermakna dengan cerdas? Hidup tidak diam,
akan tetapi melakukan, karena diam itu sendiri adalah melakukan. Hidup juga
tidak mandek akan tetapi bergerak, karena mandek itu sendiri adalah bergerak. Maka
tidak ada diam dan mandek dalam hidup. Rasulullah saw bersabda dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Kuluun nasi yaghdu…, Setiap manusia
itu berangkat pagi”. Maksudnya adalah
berusaha, dan berusaha artinya bergerak.
Masalahnya
adalah bagaimana akal kita bisa bermain cantik, berperan baik dan beroperasi
normal, mengendalikan usaha kita dengan mengarahkannya kepada nilai-nilai
positif dan bermanfaat, serta mengeremnya dari nilai-nilai negatif yang
merugikan. Dengan begitu makna hidup kita terasa cerdas. Kelanjutan hadits di
atas adalah: “Maka orang menjual dirinya, ada yang memerdekakan dirinya dan
ada pula yang mencelakakan dirinya.” Maksudnya, setiap orang berusaha, di
antara mereka ada yang memerdekakan dirinya karena menjualnya kepada Allah dan
di antara mereka ada yang mencelakakan dirinya karena menjualnya kepada hawa
nafsu dan setan yang terkutuk.
Sudahkah
hidup Anda terisi dengan hal-hal yang bermanfaat yang menandakan bahwa Anda
telah memaknai hidup Anda dengan cerdas? Atau Anda masih berkutat dengan
perkara-perkara laghwu, yang tidak berguna? Semoga yang pertama, bukan
yang kedua. Wallahu a’lam.
Created by : Izzuddin al-Karimi
Image by : google.com
0 Response to "Memaknai Hidup dengan Cerdas"
Posting Komentar