Sekarang
ini kepandaian atau kecerdasan seseorang biasa diukur dengan besaran yang
bernama IQ (Intelligent Quotient). Namun terbukti seorang yang punya IQ tinggi
belum tentu sukses dalam kehidupannya di tengah masyarakat. Maka ada besaran
lain yang disebut kecerdasan sosial atau SQ (Social Quotient) untuk mengukur
kepandaian seseorang untuk mengartikulasikan diri dalam kehidupan nyata di
tengah masyarakat.
Orang
yang punya IQ tinggi biasanya punya prestasi akademik yang tinggi pula. Dia
menjadi ilmuwan, peneliti, atau penemu. Sedangkan mereka yang punya SQ tinggi
biasanya menjadi pengusaha sukses, tokoh masyarakat, atau pemimpin politik.
Namun seringkali seseorang mempunyai IQ dan SQ yang sama-sama tinggi. Orang
seperti ini biasanya memiliki peran menonjol dalam masyarakat. Maka bisa
dimengerti bila setiap orangtua menginginkan anak-anak mereka memiliki IQ dan SQ
yang tinggi.
Tapi
ternyata itu semua belum cukup. Bahkan menurut Kanjeng Nabi, orang yang
pandai atau cerdas bukan mereka yang punya IQ atau SQ tinggi, melainkan mereka
yang banyak mengingat mati.
Tentu
hanya mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir bisa memahami dalil ini. Mereka yang beriman
– semoga kita ada bersama mereka – keberadaan Hari Akhir adalah kepastian dan
di sanalah nanti eksistensi kita memperoleh bentuknya yang sejati, nyata.
Dan
Hari Akhir bagi seseorang diawali dengan
datangnya kematian dengan membawa banyak
hal yang menyertainya. Nanti di balik kematian, ada proses perhitungan yang
amat cepat dan akurat; semua kebaikan yang dilakukan si mati semasa hidupnya
akan berbuah kenikmatan dan semua keburukan akan berbuah penderitaan.
Setelah
proses perhitungan yang amat cepat itu orang akan diperlihatkan matra hidup
nyata yang merupakan realisasi atas gambaran hidup yang dialakukan di
dunia. Pada saat itu orang sudah bisa melihat apa bentuk kehidupan nyata yang
bakal ditempuhnya. Bila itu bernama surga maka segala kenikmatan, keindahan dan
kepuasan adalah nyata, riil, atau haq. Sedangkan ketika di dunia ketiga hal
tersebut tidak lebih merupakan gambar belaka yang bersifat nisbi dan tentu saja
tidak nyata, bahkan sebetulnya merupakan permainan yang bisa menyesatkan.
Sayang,
banyak di antara kita kurang istiqamah dalam hal beriman terhadap Allah
dan Hari Akhir sehingga mudah tertipu; eksistensi keduniaan yang sesungguhnya
cuma gambar (seperti realitas dalam cermin) dianggap sebagai sesuatu yang nyata
dan final. Maka banyak di antara kita tertipu; mencintai dunia lebih dari
meyakini kenikmatan yang bisa kita dapatkan di seberang kematian.
Maka
bila kita ingin menyikapi hidup secara lebih cerdas, pertama kita harus
melakukan penghayatan ulang iman kita kepada Allah dan Hari Akhir. Betulkah kita telah mengimani Allah dan eksistensi
Hari Akhir (dalam satu pengertian integral) dengan sebenar iman? Bila
jawabannya “ya”, selanjutnya amalkan sabda Nabi, banyaklah ingat akan mati dan
renungkan proses apa saja yang akan kita lalui di sebaliknya.
Karena
banyak mengingat mati maka dalam hidup di dunia sekarang – yang hanya merupakan
gambar dan bisa menyesatkan serta edan ini – kita menjadi lebih berhati-hati.
Ingat akan mati mampu menjaga kehadiran zikir, mampu menjaga kebeningan hati
sehingga kita cenderung memilih jalan ilahi yakni akhlak mulia dalam hidup
sehari-hari.
Dengan
perhitungan dan harapan akan diberkati kebahagian sejati dalam kehidupan nyata
sesudah mati, bukankah ini sikap yang cerdas, dan betul-betul cerdas? Maka, mari kita ikuti anjuran Kanjeng Nabi untuk
banyak mengingat mati. Bukan untuk menjadi lemah melainkan untuk hidup dengan
selamat sekarang maupun dalam kehidupan nyata sesudah mati. Memang hanya mereka
yang memilih keselamatan dan kebahagiaan sejati yang patut mendapat sebutan
orang cerdas. Wallahu a’lam.
Created by : Ahmad Tohari
Image by : google.com
0 Response to "Ingat akan Mati itu Cerdas"
Posting Komentar