Usianya
belum genap 20
tahun. Masih muda
belia. Dialah Usamah
bin Zaid, sosok pemuda kepercayaan Rasulullah yang ditunjuk menjadi panglima
tertinggi penaklukan Romawi. Ragukah orang–orang saat itu? Bagaiamana
tidak? Selain dia anak seorang budak, di belakangnya berdiri para sahabat
senior yang berkelas. Namun pilihan seorang Nabi mustahil salah. Anak Zaid bin
Haritsah ini memang punya kepiawaian memimpin dan berperang yang sangat tinggi.
Dia juga anak Ummu Aiman, wanita jempolan
yang berperan mendidik Nabi saat beliau belia.
Tua
itu pasti, dewasa itu pilihan. Banyak diantara kita yang mungkin usianya dipandang sudah
dewasa namun sikapnya belumlah matang. Tindakannya lebih bersifat reaksioner, sehingga yang lebih
dominan adalah sikap penolakan terhadap kenyataan yang ada. Kita adalah hasil
dari buah pikiran kita. Sikap dewasa tidaklah tercermin dari kekuasaan ataupun
wewenang yang dimiliki, namun seberapa
besar keberaniannya untuk menerima tanggung jawab di depannya.
Berapa usia kita saat ini? Seberapa efektif usia kita menorehkan
prestasi hidup? Sebenarnya kompetisi berprestasi dalam hidup bukanlah dengan orang lain, tapi dengan diri
kita sendiri. Hakikatnya capaian hidup sukses diukur dari kapasitas diri
sendiri. Taruhlah nilai pelajaran
Matematika kita hanya
6 saja, maka itulah prestasi kita. Tak peduli nilai tertinggi teman sekelas 9
atau 10.
Akankah
usia kita menjadi usia pemakluman? Tidak mau dianggap anak kecil namun tidak
siap diperlakukan seperti orang dewasa. Siapapun yang ingin menjadi yang
terpilih, perlu merangkai langkah-langkah untuk mengukirkan nama dan jejak dalam
sejarah kehidupan. Generasi yang terpilih oleh peradaban akan menjadi tokoh
yang dikenang, bukan sosok generasi yang terlupakan karena tak
bisa berbuat banyak untuk zamannya. Generasi pilihan pantang menebar aib untuk
diri dan keluarganya dengan perilaku yang merugikan khalayak, dan akan dikenang
lewat sumpah serapah anak cucunya.
Mari
kita tengok kata – kata Ibnu Jauzi dalam kitabnya Saidhul Khathi, yang
menuliskan “Barulah
saya tahu bahwa Allah tidak akan mengaruniakan kemuliaan waktu, umur, dan
pengetahuan, kecuali kepada orang – orang yang benar–benar mendapat taufik
untuk memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.” Allah berfirman dalam QS. 41 :
35: “Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang mempunyai Keuntungan yang besar.”
Dalam bukunya “Prophetic Learning : Menjadi Cerdas
dengan Jalan Kenabian” Dwi
Budiyanto menegaskan bahwa tantangan dan kepayahan
hanyalah pintu untuk memasuki prestasi yang lebih gemilang. Sungguh, kesusahan
tidaklah konstan. Ia
akan segera beralih mnejadi kemudahan, jika seseorang sangup bertahan dan
menunda kepuasan.
Sejarah
membuktikan, bahwa kitalah yang sebenarnya menjadi tokoh perubahan itu sendiri.
Semua berasal dari pikiran kita. Inilah
masa depan yang akan kita bangun dalam bingkai komitmen diri menjadi generasi
pilihan. Seperti halnya Usamah bin Zaid yang membakar seluruh kapal perangnya
sebagai tanda komitmennya dalam perang kemenangan atas penaklukan Romawi. Tinta
emas pun tak pernah kering
menuliskan kisah 40 hari perjuangannya menaklukkan tirani.
Inilah
aksi sang Terpilih. Sudahkah
kita berada di barisan penggantinya? Saatnya membuktikan. Berusahalah hingga takdir tersingkap.
Created by : Lusiana Nurhermawati
Image by : google
0 Response to "Becoming an Elected or the Forgotten"
Posting Komentar