Alam dan Perilaku Manusia












Indonesia adalah negara yang diberi karunia oleh Allah SWT berupa alam yang sangat indah. Keindahan tersebut telah terkenal sejak zaman dahulu kala hingga sekarang. Banyak nama yang disematkan pada negara kepulauan yang berada di daerah tropis ini,  antara lain nusantara dan zamrud khatulistiwa. Indonesia bagaikan untaian berlian indah di daerah khatulistiwa yang memberikan apapun yang dibutuhkan oleh penduduknya.

Sebagai negara tropis, Indonesia juga didukung oleh iklim yang baik. Hujan dan panas silih berganti sepanjang tahun. Dikombinasikan dengan banyaknya gunung berapi yang membuat tanah menjadi subur.  Namun demikian, apakah penggambaran alam Indonesia dengan segala keindahannya  masih relevan dengan kondisi sekarang ini?

Alam mengajarkan pada manusia sebuah prinsip keseimbangan. Demikian halnya dengan manusia yang juga membutuhkan keseimbangan untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Dalam konsep perilaku, ketika individu merasakan kondisi yang tidak seimbang (contoh : lapar, sedih, kecewa, dendam, rindu, dan sebagainya), maka kita akan meresponnya dengan melakukan tindakan yang membuat kembali pada titik keseimbangan (equilibrium). Jika lapar maka kita makan, jika sedih maka kita menangis, dan jika kecewa maka kita marah-marah. Masalahnya adalah apakah respon yang kita lakukan untuk menuju kondisi seimbang sudah sesuai tuntutan lingkungan? Hal ini adalah poin yang sangat penting, karena respon yang kita lakukan untuk mencapai keseimbangan itu bisa memberikan konsekuensi yang berbeda-beda. Bisa menjadi positif dan negative, tergantung dari sudut pandang masing-masing.

Konsekuensi atau dampak dari perilaku yang kita kembangkan dalam rangka menuju titik seimbang adalah bagaimana lingkungan merespon reaksi kita. Tentunya respon yang kita keluarkan secara subyektif akan menguntungkan kita. Namun di sisi lain, respon-respon tersebut justru bisa saja merugikan orang lain.  Sebagai missal, setelah selesai makan makanan ringan, maka dengan mudahnya orang membuang sampah sembarangan. Bagi kita, masalah sampah makanan ringan selesai, tapi bisa jadi memberi efek yang akan panjang jika sampah tersebut justru menyumbat saluran air.  Masih banyak contoh-contoh negatif lainnya seperti cara kita berkendara di jalan raya, merokok di keramaian dan lain-lain.

Hal yang sama dapat dipelajari bagaimana reaksi alam  bagaimana reaksi alam untuk menuju keseimbangan ketika dibuat tidak seimbang oleh manusia. Ketika hutan digunduli dengan penebangan kayu secara masif, alam akan terdiam pada awalnya. Namun, ketika datang musim penghujan, maka yang terjadi adalah bencana longsor dan banjir dimana-mana. Kondisi hutan yang alami, asri dan rimbun adalah gambaran kondisi alam yang seimbang, yang bila pun terjadi hujan lebat pasti dampak negatifnya kecil.  Namun sebaliknya, begitu alam menjadi kurang seimbang. Demikian juga dengan pembakaran hutan untuk pembukaan lahan. Asap yang tidak terkendali justru merugikan banyak orang dan hanya menguntungan segelintir orang.

Jika akan dibuat daftar sederhana mengenai penyebab bencana alam, maka  akan ditemukan bahwa faktor manusia memiliki peran yang cukup dominan. Bencana banjir salah satu penyebabnya adalah kebiasaan manusia untuk membuang sampah sembarangan. Bencana asap merupakan hasil perbuatan manusia yang melakukan pembakaran hutan. Tanah longsor merupakan akibat dari aktivitas manusia yang menggunduli hutan.  Dahulu ketika hutan kita masih dalam kondisi baik, sangat jarang terjadi bencana banjir dan tanah longsor. Tapi akhir-akhir ini bencana menjadi meluas dan menjadi pemberitaan sehari-hari dengan intensitas yang lebih besar. Apakah kita peduli atau pura-pura tidak peduli dengan kenyataan tersebut?

Perilaku manusia yang menjadi faktor penyebab bencana alam merupakan kebiasaan yang terbentuk karena beberapa faktor. Faktor terbesarnya adalah kurang memiliki empati. Orang yang kurang memiliki empati akan berperilaku semaunya, tidak peduli terhadap lingkungan, serta kurang bisa mengembangkan rasa simpati pada orang. Masihkah kita teringat oleh dongeng-dongeng orang tua dan buku-buku pelajaran sekolah, bahwa bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, sopan santun, toleran dan suka tolong menolong. Namun  sekarang, budaya luhur itu sepertinya mulai terabaikan.

Dalam literatur psikologi, empati secara umum diartikan sebagai kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain dan kemudian mampu berperilaku sesuai dengannya. Empati juga menjadi dasar terbentuknya perilaku prososial (sesuai dengan tuntutan sosial).  Perilaku prososial ini merupakan tindakan nyata, bukan sekedar keinginan ataupun angan-angan belaka. Perilaku ini akan membuat kita ikut memperhatikan konsekuensi yang akan dihadapi baik diri sendiri maupun orang lain. 

Perilaku prososial dapat dipelajari melalui dua prinsip yaitu modeling dan reinforcement. Modeling adalah proses dimana kita belajar perilaku prososial dengan cara mengamati dan mengikuti perilaku orang-orang yang ada di sekitar kita. Semakin banyak dan berulang contoh yang diberikan lingkungan maka akan semakin mudah proses modeling seseorang terhadap perilaku tersebut. Demikian pula  sebaliknya. Sedangkan reinforcement adalah proses penguatan yang bertujuan untuk terbentuknya perilaku prososial. 

Anak-anak sedari dini harus diajarkan perilaku prososial. Jika kita bisa melakukan kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, maka anak-anak akan  mengikuti kebiasaan-kebiasaan kita. Tidak lupa kita beri reinforcement (penguat) dengan memberikan pujian atas tindakan tersebut. Semakin sering dan dengan cara yang tepat kita memberikan reinforcement positif bagi anak, maka perilaku yang kita inginkan bisa terbentuk. Sebaliknya semakin sering anak melihat perilaku yang negatif dan kita justru mengabaikan maka perilaku negatif anak akan semakin kuat. Sebagai orang tua, maka dibutuhkan teladan bagi anak-anak yaitu teladan dengan tindakan nyata. Teladan yang baik lebih bermanfaat daripada berjuta-juta perkataan. Namun, bagaimana kita bisa memberikan teladan jika kita sendiri belum bisa merubah perilaku kita menjadi perilaku prososial. 

Sebenarnya, semua   sudah mengetahui dan sepakat akan dampak negatif dari pembuangan sampah sembarangan, penebangan liar, maupun pembakaran hutan. Namun sepertinya banyak orang yang seakan tidak peduli. Apakah kita harus menunggu sampai masyarakat kita tumbuh kembali rasa empatinya? Atau apakah telah terbentuk mentalitas di masyarakat yang hanya berorientasi pada hasil, sehingga semua mencari mudahnya saja, yang menjadikan mental korup, terbiasa dengan kejahatan suap,  malas antri, susah diatur dan sebagainya? Menjadi tugas kita untuk menjawab dengan langkah kongkrit.  

Created by

Indra Bayu Permana.,M.Psi Psikolog



0 Response to "Alam dan Perilaku Manusia"

Posting Komentar